Oleh: Achmad Charris Zubair, Filsuf dan Mantan Dosen Filsafat UGM
Pengetahuan dan kesadaran kita tentang waktu, tidak terlepas dari kesadaran dan pengetahuan kita tentang ruang.
Kita berada di ruang bumi yang berputar pada porosnya serta mengitari pusat semesta dengan teratur.
Keteraturan beredar dan berputarnya bumi pada poros dan jalurnya, beredarnya matahari dan bulan yang tetap tak berubah. Telah memampukan manusia sebagai makhluk berakal membangun sistem perhitungan waktu. Angka2 tahun, nama2 bulan, nama2 hari, angka2 tanggal bahkan akhirnya terwujud dalam sistem kalender yang beragam berdasarkan perhitungan benda langit, dapat diciptakan.
Kita mengenal kalender gregorian, kalender hijriyah, kalender çaka, kalender jawa, kalender china, kalender jepang, kalender maya, dan lain sebagainya.
Kalender tersebut menghasilkan ilmu tentang semesta, tentang siklus dan liniernya sang "waktu", tentang zodiac astrologi, ilmu falak dan astronomi, siklus pasaran, wuku, ilmu tentang musim dan cuaca bahkan ilmu meramal masa depan.
Kalender menjadi sangat penting sebagai penanda dan pencatat peristiwa penting dalam hidup kemanusiaan. Kalender mencatat dan menandai hari lahir dan mati manusia, peristiwa peristiwa bersejarah, bangun dan runtuhnya peradaban, rencana2 masa depan manusia, juga menentukan hari2 suci keagamaan dan bahkan memperhitungkan bencana dan bahagia masa depan manusia. Juga me"ramal"kan seluruh semesta ini entah kapan pasti binasa.
Kalender seharusnya menjadi rekakarya manusia yang menyadarkan dirinya betapa fana dan maya hidupnya.
Beberapa hari ke depan, angka tahun 2023 sudah berganti menjadi 2024 dalam perhitungan kalender Gregorian berdasar peredaran matahari, yang dipakai sebagian besar umat manusia di dunia sebagai penanda perjalanan waktu.
Ada sistem kalender lain yang didasarkan peredaran bulan atau kombinasi keduanya. Seperti sistem kalender Jawa karya Sultan Agung.
Waktu bisa diukur dan diperhitungkan, sistem kalender bisa dibuat, karena kita berada di bumi sebagai bagian dari semesta yang perputaran dan peredaran kosmologisnya sangat teliti, detil dan presisi. Manusia sadar waktu, karena "diri" masih terbungkus jasad.
Entah apa yang terjadi kalau jasad kita musnah karena kematian. Entah apa yang terjadi kalau planet bumi, ruang tempat tinggal semua makhluk, perputaran dan peredarannya bergeser nol koma nol derajat saja.
Apalagi kalau tiba tiba semesta ini musnah atau rusak salahsatunya. Dimanakah gerangan "sang waktu"?
Apakah ini yang disebut sebagai waktu abadi milik Sang Maha Transenden? Inikah yang disebut waktu Illahiyah?
Kehadiran tahun baru Gregorian ini sering disambut dengan pesta dan hura hura dengan penuh suka cita bahkan lupa diri.
Ada baiknya kita mengikuti jejak tradisi masyarakat Jawa ketika menyambut tahun baru 1 Suro dengan perilaku yang reflektif, laku prihatin, "withdrawl and return", melakukan tapa kungkum, laku mbisu, mandi besar dan juga membersihkan atau jamasan benda benda pusaka. Sebagai laku perenungan dan membersihkan diri lahir batin.
Sebab seiring berjalannya waktu, jasmani akan semakin rapuh dan semestinya jiwa semakin menguat. Kesadaran waktu adalah kesadaran spiritual, betapa fana dan tidak abadinya kehidupan ini.
Seandainya ruang tiada, jasad tiada, bumi dan semesta tiada, dimanakah gerangan sang waktu?
Keabadian yang tak terperi dan tak terbayangkan. Itulah maha misteri semesta tanpa ruang tanpa waktu, keabadian tak terperi yang hanya milik Tuhan. Dzat Transenden Maha Agung yang Hanya Satu bagi semua manusia dan seluruh isi semesta.
SELAMAT TAHUN BARU 2024