REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banjir mendorong jutaan orang untuk meninggalkan rumah mereka, membatasi pertumbuhan di beberapa komunitas yang makmur dan mempercepat kemunduran di komunitas lainnya. Hal ini diungkap oleh sebuah studi dari First Street Foundation yang merinci bagaimana perubahan iklim dan banjir mengubah tempat tinggal orang Amerika.
Dalam dua dekade pertama abad ke-21, ancaman banjir telah meyakinkan lebih dari 7 juta orang untuk menghindari daerah berisiko atau meninggalkan tempat-tempat yang berisiko. Peneliti menyatakan, perubahan iklim membuat badai menjadi lebih hebat dan meningkatkan intensitas hujan yang diakibatkan badai di wilayah Midwest. Dan dalam beberapa dekade mendatang, jutaan orang lainnya akan memutuskan bahwa hal ini terlalu berat untuk dijalani dan meninggalkan wilayah itu.
First Street menilai, sejauh ini mayoritas warga dan orang Amerika mengabaikan ancaman perubahan iklim ketika mereka memilih tempat tinggal. Florida, yang rentan terhadap naiknya air laut dan badai besar, berkembang pesat, misalnya. Namun hal ini tidak mencerminkan perilaku masyarakat setempat. Kebanyakan gerakan dilakukan dalam jarak pendek; orang-orang tinggal di dekat keluarga, teman, dan pekerjaan.
Jeremy Porter, kepala penelitian di First Street, mengatakan ada hal lain yang perlu diperhatikan selain peningkatan populasi di negara-negara bagian Sun Belt.
"Orang-orang ingin tinggal di Miami. Jika Anda sudah tinggal di Miami, Anda tidak akan mengatakan, 'Oh, properti ini memiliki nilai 9 (dari 10 untuk risiko banjir), saya akan pindah ke Denver’. Mereka akan berkata, 'Properti ini bernilai 9, tapi saya ingin tinggal di Miami, jadi saya akan mencari yang bernilai 6 atau 7 atau 5 di Miami’. Mereka hanya berpikir tentang risiko relatif,” kata Porter seperti dilansir AP, Jumat (22/12/2023).
Hal itulah yang diproyeksikan oleh First Street selama tiga dekade ke depan: blok-blok di Miami yang memiliki kemungkinan besar terkena badai besar kemungkinan besar akan mengalami penurunan populasi, meskipun banyak wilayah kota yang diperkirakan akan menampung lebih banyak orang.
Di balik temuan ini terdapat data yang sangat rinci tentang risiko banjir, tren populasi dan alasan orang pindah, sehingga memungkinkan para peneliti untuk mengisolasi dampak banjir meskipun kondisi ekonomi lokal dan faktor-faktor lain memotivasi keluarga untuk memilih dan tinggal di tempat lain. Mereka menganalisis perubahan populasi di wilayah yang sangat kecil, hingga ke blok sensus.
Beberapa blok telah berkembang pesat dan akan tumbuh lebih cepat lagi jika banjir tidak menjadi masalah, menurut First Street. Daerah-daerah yang berkembang namun rawan banjir bisa saja mengalami pertumbuhan sebesar 25 persen lebih banyak – menarik sekitar 4,1 juta orang lebih banyak – jika risikonya bisa lebih rendah. Para peneliti juga mengidentifikasi daerah-daerah di mana risiko banjir mendorong atau memperburuk penurunan populasi, yang mereka sebut sebagai “climate abandonment areas”. Sekitar 3,2 juta orang meninggalkan lingkungan ini karena risiko banjir selama dua dekade.
Ketika First Street memproyeksikan tahun 2053, banyak dari daerah pengabaian iklim (climate abandonment area) yang baru berada di Michigan, Indiana, dan bagian lain dari Midwest. Risiko banjir hanyalah salah satu faktor yang mendorong perubahan ini dan bukan berarti komunitas-komunitas tersebut akan ditinggalkan, menurut Philip Mulder, seorang profesor yang berfokus pada risiko dan asuransi di University of Wisconsin-Madison.
“Orang-orang dapat tinggal di tempat yang lebih cerdas di dalam komunitas tersebut. Hal ini sama benarnya dengan Detroit dan Miami," kata Mulder.
Sementara itu, seorang warga bernama Terri Straka yang berulang kali mengalami banjir mengatakan hal ini membuatnya muak. Karena dia selalu dihantui rasa khawatir setiap kali terjadi badai.
Straka memutuskan untuk pindah dari daerah tersebut namun mengalami kesulitan untuk meyakinkan orang tuanya untuk melakukan hal yang sama. Akhirnya, dia membawa mereka ke sebuah rumah yang dijual dan mengatakan bahwa rumah itu bisa menjadi rumah impian mereka. Dengan berat hati mereka setuju untuk pindah.
"Kemampuan mereka untuk membayangkan seperti apa masa depan itu sangat penting bagi orang-orang untuk pindah. Mereka harus membayangkan sebuah tempat dan itu haruslah tempat yang nyata dan mampu mereka beli," kata Harriet Festing, direktur eksekutif Anthropocene Alliance yang mendukung komunitas seperti Socastee yang terkena dampak bencana dan perubahan iklim.
Para lansia lebih jarang berpindah tempat dan butuh biaya untuk pindah, sehingga jika mereka tidak mendapatkan bantuan yang cukup, mereka akan cenderung tinggal di daerah yang berisiko. Ketika orang-orang mulai pindah, hal ini dapat menciptakan momentum bagi orang lain untuk pergi, meninggalkan lebih sedikit penduduk untuk mendukung ekonomi lokal yang menyusut, demikian menurut Matt Hauer, seorang ahli demografi dan penulis studi di Florida State University.