REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengajak anak Indonesia untuk menjadi pelopor pemilih pemula yang cerdas. KPPPA mendorong anak turut andil mencegah praktik penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik praktis.
"Kita harus mempersiapkan mereka menjadi pemilih pemula. Kesadaran dan pendidikan politik yang baik pada anak harus dibangun karena mereka berperan dalam menentukan masa depan bangsa,” kata Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak KPPPA Rr. Endah Sri Rejeki dalam keterangannya dikutip pada Selasa (26/12/2023).
Endah mengungkapkan pelibatan anak dalam kegiatan politik praktis selama ini mengandung risiko dan cenderung eksploitatif sehingga perlu dicegah.
Bentuk pelibatan anak dalam praktik politik praktis seperti menggunakan anak-anak sebagai massa kampanye politik, menjadikan anak sebagai bintang atau juru kampanye politik, dan memanipulasi data anak yang belum memiliki hak pilih agar dapat mengikuti pemilihan.
"Penyalahgunaan anak dalam kegiatan kampanye partai politik sedikit-banyak telah menciptakan stigma politik pada anak, bahwa politik itu kotor, rumit, penuh kecurangan dan bukan untuk anak. Akibatnya, stigma tersebut berhasil menciptakan ‘jarak’ antara anak dan politik sehingga anak memiliki keengganan membahas politik. Padahal sebenarnya, anak memiliki hak dalam politik," ujar Endah.
Endah mengemukakan banyak anak kurang informasi dan pengetahuan terkait politik sehingga mereka bersikap apatis terhadap politik.
"Minimnya literasi politik dan informasi yang kurang tepat menyebabkan anak-anak cenderung enggan berdiskusi atau membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik," ujar Endah.
Survei yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggambarkan pandangan generasi muda yang cenderung pesimis terhadap demokratisasi Indonesia ke depan. Bahkan, sebagian besar menganggap partai politik atau politisi tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi masyarakat.
“Minimnya informasi terkait politik dan Pemilu yang dimiliki anak tersebut harus menjadi perhatian kita bersama, karena ketika anak menginjak usia 17 tahun, mereka sudah memiliki hak pilih dan tentu diharapkan turut berpartisipasi dalam proses demokrasi di Indonesia,” ujar Endah.
Menurut Endah, kematangan politik dan berdemokrasi sebuah bangsa memerlukan proses pembelajaran yang panjang dan harus dimulai sejak dini pada masa anak. Di Indonesia, anak-anak sebenarnya sudah mulai belajar tentang politik dan demokrasi. Di sekolah, anak belajar proses politik dan demokrasi melalui praktik pemilihan ketua kelas, pemilihan ketua osis. Di luar proses belajar mengajar formal, terdapat organisasi anak seperti Forum Anak.
"Proses pembelajaran anak-anak tentang politik dan demokrasi yang sudah dimulai di sekolah dan dalam Forum Anak tersebut harus dilengkapi dengan pendidikan tentang politik dalam kehidupan sesungguhnya yang akan dialami oleh anak-anak seperti pelaksanaan pemilu," ujar Endah.