REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film bergenre horor dan melodrama diprediksi masih akan menjadi primadona di pasaran pada 2024. Sedangkan dari sisi produksi, film berbiaya besar kemungkinan masih akan berisiko bila tak memiliki relevansi dengan penonton.
"Kalau bicara genre, saya mencatat bahwa genre horor dan melodrama, termasuk melodrama religi, masih akan paling atas, paling laris," jelas pengamat film Hikmat Darmawan kepada Republika.co.id, Senin (25/12/2023).
Di posisi berikutnya, lanjut Hikmat, ada genre film komedi. Selain itu, Hikmat menilai bahwa genre film biopik atau kisah riwayat hidup dari tokoh nyata masih memiliki pasarnya tersendiri.
"Masih ada juga tren alih wahana dari buku atau pun dari cerita di medsos, utas-utas di Twitter (X), itu masih jadi pilihan para produser dan punya penonton yang cukup aman," ujar Hikmat.
Di sisi lain, Hikmat menilai genre film aksi masih berisiko di 2024. Salah satu alasannya, film action membutuhkan biaya yang relatif besar atau mahal untuk diproduksi. Sedangkan, hasilnya belum tentu disukai oleh penonton. Padahal, film berbiaya besar membutuhkan jumlah penonton yang tinggi untuk bisa mengantongi keuntungan.
"Karena mahal tapi lantas tidak jadi heboh, itu kan sesuatu yang kurang menguntungkan bagi PH, sehingga PH juga mungkin akan makin hitung-hitung untuk memproduksi film," kata Hikmat.
Hikmat mencontohkan, sebuah film superhero lokal menelan biaya produksi hingga puluhan miliar. Akan tetapi, film tersebut hanya meraup sekitar 600 ribu penonton. Menurut Hikmat, ini merupakan prospek yang mengerikan untuk bisnis film.
"Kalau produksinya (film aksi) terbatas, maka tidak cukup terbentuk pasar yang cukup untuk film genre action ini tumbuh," ujar Hikmat.
Di 2024, Hikmat menilai bukan film-film "mahal" yang akan menjadi tren, melainkan film yang relate bagi masyarakat. Oleh karena itu, film melodrama masih akan diminati.
Hikmat mengatakan, film melodrama dan horor juga bisa menelan biaya besar. Akan tetapi, tak sedikit film melodrama dan horor dengan biaya produksi lebih terjangkau bisa sukses di bioskop.
Selain itu, biaya produksi film yang relatif lebih murah memungkinkan film bisa memperoleh keuntungan meski jumlah penonton tidak mencapai 1 juta. Dengan target penonton yang lebih sedikit, film berbiaya lebih terjangkau sudah bisa memperoleh keuntungan.
"Itu akan jadi tren produksi, orang akan hitung-hitung. Orang berharap blockbuster, film itu diproduksi dengan biaya di atas 20 miliar, tapi kenyataannya pasar kita ngga terlalu butuh production value segitunya untuk film," ujar Hikmat.