REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Momen tahun baru sering kali identik dengan acara bakar-bakar atau barbekuan, entah itu bersama keluarga atau bahkan teman-teman. Namun di tengah perubahan iklim yang kian mengancam peradaban manusia, mencoba menerapkan pola makan demitarian saat momen tahun baru mungkin jadi pilihan bijak untuk melindungi Bumi.
Menurut studi baru yang dilakukan untuk PBB, pola makan demitarian berarti mengurangi separuh konsumsi daging dan susu. Para peneliti menemukan bahwa pengurangan konsumsi daging dan susu dapat memberikan dampak yang lebih besar dalam mengurangi polusi nitrogen dibandingkan dengan diet vegan.
Nitrogen sangat penting untuk pertumbuhan tanaman, dan ditemukan dalam pupuk sintetis yang digunakan petani untuk meningkatkan produksi tanaman. Namun ketika nitrogen bocor ke lingkungan, ia menjadi gas rumah kaca yang 300 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida.
Dan meskipun veganisme disebut-sebut sebagai salah satu pola makan paling ramah lingkungan, menerapkan demitarian bisa menjadi cara yang lebih baik dan bijak guna mengatasi polusi nitrogen dan perubahan iklim.
“Analisis kami menemukan bahwa serangkaian tindakan termasuk pendekatan demitarian (mengurangi konsumsi daging dan susu hingga separuhnya) mendapat nilai tertinggi dalam upaya mengurangi separuh limbah nitrogen pada tahun 2030,” kata salah satu peneliti, Profesor Mark Sutton dari UK Centre for Ecology & Hydrology (UKCEH), seperti dilansir Euro News, Rabu (27/12/2023).
Laporan tersebut juga mengusulkan pengurangan separuh rata-rata konsumsi daging dan susu, kemudian beralih ke pola makan nabati guna mengurangi polusi dan meningkatkan kesehatan manusia.
Menurut para peneliti, peternakan adalah salah satu sektor yang berkontribusi pada pemanasan global yang berasal dari kotoran dan ekstraksi hewan. Sektor peternakan menyumbang gas metana, nitrogen dioksida, karbon dioksida, dan amonia yang dapat menimbulkan hujan asam.
Adapun menanam sayuran atau tanaman lain, umumnya lebih efisien dibandingkan peternakan, karena memerlukan lebih sedikit lahan dan pupuk. Untuk membantu peralihan ke pola makan nabati, para peneliti menyarankan pemberian insentif keuangan untuk makanan yang berdampak rendah terhadap lingkungan.
“Harus ada kombinasi kebijakan yang koheren dalam menangani produksi dan konsumsi pangan untuk mendukung transisi menuju sistem berkelanjutan,” tegas peneliti.
Studi ini juga mendesak pengelolaan yang lebih baik dalam penggunaan pupuk dan penyimpanan pupuk kandang, yang mengandung nitrogen. Para peneliti mengatakan, pengolahan air limbah yang lebih baik untuk menangkap nitrogen dari limbah dapat mengurangi emisi dan memungkinkan nutrisi daur ulang digunakan di ladang.
Laporan tersebut juga mengungkapkan, pola makan seimbang dengan lebih sedikit daging dan produk susu akan meningkatkan gizi dan membuat masyarakat lebih sehat, sehingga mengurangi permintaan terhadap layanan kesehatan.
Untuk diketahui, makanan hewani, khususnya daging merah dan produk susu umumnya dikaitkan dengan emisi gas rumah kaca tertinggi. Produksi daging seringkali membutuhkan padang rumput yang luas, yang sering kali tercipta dari penebangan pohon, sehingga melepaskan karbon dioksida yang tersimpan di hutan.
Sapi dan domba juga mengeluarkan metana saat mereka mencerna rumput dan tanaman. Kotoran ternak di padang rumput dan pupuk kimia yang digunakan pada tanaman untuk pakan ternak mengeluarkan dinitrogen oksida, gas rumah kaca yang sangat kuat.