REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak jarang dalam aktivitas muamalah atau perdagangan terdapat jasa calo yang berseliweran. Bagaimana pandangan Islam terkait calo dalam perdagangan?
Istilah calo dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti makelar atau orang yang menjadi perantara dan memberikan jasa-jasanya berdasarkan upah. KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal menyampaikan dalam literatur fikih calo itu dinamakan samsarah.
Kiai Ali mengutip pernyataan Sayyid Sabiq yang mengartikulasikan simsar sebagai pelaku samsarah dengan orang yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli guna memudahkan proses jual beli.
Menurutnya, praktik ini diperbolehkan dalam syariat. Imam Bukhari mengemukakan praktik simsar dianggap boleh oleh banyak ulama, di antaranya Ibnu Sirrin, Atha, Ibrahim, Hasan, hingga Ibnu Abbas. Para ulama ini memandang samsarah sebagai akad yang diperbolehkan.
Meski diperbolehkan, ada yang perlu digarisbawahi dalam percaloan, yakni dalam akad, bahkan semua akad muamalah harus terjalin adanya saling rela-merelakan. Yakni tidak ada pihak yang dirugikan dalam akadnya.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Al-muslimuna ala syuruthihim illa syarthan ahalla haraman aw harrama halalan." Yang artinya, “Kaum Muslimin itu terikat dengan perjanjian mereka. Kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal."