REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah perang antara Israel dan Hamas berlangsung lebih dari 70 hari, warga Gaza menghadapi kerusakan permanen pada lingkungan yang mengancam kesehatan dan kesejahteraan. Merujuk laporan Program Pembangunan PBB (UNDP), Gaza mengalami polusi udara yang parah, air yang tercemar zat berbahaya, hingga meningkatnya kasus penyakit menular.
Pada Oktober misalnya, Human Rights Watch mengkonfirmasi bahwa Israel telah menjatuhkan bom fosfor putih di Gaza dan Lebanon. Bahan kimia ini diketahui berdampak parah dan fatal bagi manusia, hewan, dan lingkungan.
Zat yang sangat beracun ini mampu menyebabkan luka parah pada organ dalam saat diserap melalui kulit, tertelan, atau saat terhirup. Fosfor putih juga merusak tanah, mencemari sumber air, dan meracuni ekosistem perairan, demikian menurut Khaled El-Sayed, direktur pelaksana Synerjies Center for International and Strategic Studies yang berbasis di Kairo.
“Penelitian menunjukkan bahwa panas yang dihasilkan selama pembakaran bom dapat mengubah struktur fisik dan sifat kimia tanah, sehingga mengurangi kesuburan dan meningkatkan kemungkinan penyakit yang ditularkan melalui tanah,” kata El-Sayed seperti dilansir Euro News, Kamis (28/12/2023).
Ironisnya, warga Gaza tidak memiliki banyak pilihan untuk melarikan diri dari situasi yang mengerikan. Mereka kini hidup dengan sumber daya dan fasilitas terbatas yang membuatnya kian rentan.
Sebagai gambaran, Khan Younis di Gaza Selatan, kini dihuni oleh lebih dari satu juta penduduk. Padahal, sebelum terjadinya perang, lahan seluas 33 kilometer persegi itu hanya dihuni sekitar 400 ribu penduduk.
Ahmed Al-Astal, warga setempat berusia 58 tahun, bersyukur keluarganya masih hidup, setelah berbulan-bulan dihantui pemboman – yang telah menewaskan lebih dari 20 ribu orang hingga saat ini. Akan tetapi, genangan air limbah di sekitar rumahnya telah memicu ketakutan baru.
“Nyawa cucu-cucu saya dipertaruhkan,” kata Al-Astal.
Cucu Al- Astal yaitu Ahmed (4 tahun) dan Fatima (2 tahun), menghadapi ancaman jangka pendek berupa tenggelam di genangan air yang terkontaminasi serta ancaman jangka panjang berupa penyakit kronis.
“Ahmed mengalami infeksi pernafasan dan saudara perempuannya mengalami ruam di sekujur tubuhnya, yang menurut dokter merupakan gejala penyakit kulit yang didapat dari lingkungan yang tercemar ini,” kata Al-Astal.
Sejak serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel yang menewaskan 1.200 orang, Israel membatasi pasokan bahan bakar yang masuk ke Jalur Gaza, sehingga melumpuhkan sebagian besar utilitas dan layanan. Kotamadya Khan Younis tidak mampu memompa limbah ke stasiun pengolahan di luar kota. Stasiun pengolahan limbah juga tidak berfungsi secara konsisten karena tidak ada bahan bakar untuk menggerakkan generatornya.
“Khan Younis hampir seluruhnya terendam air limbah,” kata Al-Astal, yang seperti ribuan warga lainnya, terpaksa pindah ke Al-Mawashi, sebidang tanah seluas 8,5 kilometer persegi di pantai Gaza.
Sementara itu, Euro-Med Human Rights Monitor yang berbasis di Jenewa, mencatat bahwa Israel telah menjatuhkan 25 ribu ton bom di Gaza, setara dengan dua bom nuklir. Hal ini, menurut para ahli, sangat mencemari kualitas tanah, udara, dan air yang memang sudah langka di Gaza.
Menurut kepala Otoritas Kualitas Lingkungan Palestina (PEQA) Nasreen Tamimi, dampak lingkungan dari perang di Gaza adalah bencana besar. Ia menambahkan, penilaian lapangan lingkungan hidup yang komprehensif akan menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi melebihi semua prediksi.
“Mayat para korban yang tertimbun reruntuhan, limbah medis yang berbahaya, penutupan pabrik pengolahan dan desalinasi semuanya berkontribusi terhadap krisis yang terjadi saat ini,” kata Tamimi, senada dengan peringatan PBB mengenai bencana kesehatan masyarakat yang akan terjadi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah melaporkan peningkatan tajam infeksi saluran pernapasan akut, diare, kudis, dan penyakit lain yang menyebar dengan cepat.
Omar Matar, direktur Departemen Kesehatan dan Lingkungan di Kotamadya Khan Younis, menambahkan bahwa masuknya warga baru ke kota tersebut telah menciptakan krisis sampah.
“Lebih dari satu juta orang sekarang tinggal di ruang yang sama. Sampah padat yang dihasilkan per hari meningkat dari 150 ton menjadi lebih dari 450 ton. Dengan sumber daya yang terbatas, pemerintah kota tidak dapat menangani peningkatan volume ini, terutama karena langkanya truk, ekskavator, dan pasokan bahan bakar,” kata Matar.
Menurut Matar, pemerintah kota hanya dapat memindahkan sampah tiga kali sepekan, tidak setiap hari seperti sebelum perang. Bahkan setelah dikumpulkan, sampah tersebut dibuang di tempat pembuangan sampah sementara yang didirikan di dekat kawasan perumahan di sebelah barat Khan Younis. Itu dilakukan setelah Israel mengebom tempat pembuangan sampah utama di daerah Fakhari di sebelah timur Khan Younis awal bulan ini.
“Hal ini menimbulkan risiko lingkungan dan kesehatan karena bau busuk, serangga, hewan pengerat, dan polutan. Selain itu, lahan pertanian yang ditanami zaitun dan buah jeruk, atau tanaman ladang seperti sayur-sayuran, telah mengalami kerusakan parah yang belum pernah terjadi sebelumnya,” jelas Matar.
Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan bulan lalu, sebuah publikasi multimedia nirlaba Lawfare, mengatakan bahwa kerusakan tambahan yang proporsional secara hukum akibat senjata mematikan yang digunakan di wilayah berpenduduk sipil sangat tidak bermoral.
“Serangan udara IDF dapat dianggap sebagai kejahatan perang,” tegas Lawfare.