Kamis 28 Dec 2023 19:11 WIB

Dekan IPB: Indonesia Masuk Fase Transisi, Butuh Kepemimpinan yang Kuat

Peran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia disorot dalam sejarah Indonesia.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Irfan Syauqi Beik.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Irfan Syauqi Beik.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Dr Irfan Syauqi Beik menyoroti situasi sosial politik Indonesia saat ini. Menurut dia, Indonesia kini masuk ke dalam fase transisi. “Kita sekarang berada dalam fase transisi kepemimpinan yang baru,” kata Irfan, Kamis (28/12/2023) pagi. Konteks fase transisi yang ia bicarakan adalah Indonesia masuk dalam tahapan pemilu legislatif dan pemilihan presiden.

Irfan berbicara dalam sesi pembukaan di Diskusi Refleksi Dinamika Perjalanan Bangsa Tahun 2023 dan Proyeksi 2024 yang digelar di FEM IPB University. Turut berbicara dalam diskusi tersebut adalah Rektor IPB University Prof Arif Satria, ekonom senior IPB University yang juga anggota Dewan Pakar ICMI Prof Didin S Damanhuri, Guru Besar FEM IPB University Prof Yusman Syaukat, dan Ketum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Dr Adian Husaini.

Baca Juga

Irfan melanjutkan, dalam fase transisi ini, segenap bangsa Indonesia ditantang untuk bisa menghasilkan kepemimpinan yang kuat, pembangunan yang lebih berkualitas, serta kemakmuran yang lebih baik lagi bagi rakyat.

Ia juga menyebut, diskusi tersebut digelar dalam dua momen penting. Pertama momen akhir tahun sekaligus menjelang pemilu. Kedua, momen 33 tahun Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ia menekankan kiprah ICMI dalam memengaruhi sejarah Indonesia amat besar.

“Pak BJ Habibie berperan besar. Rasanya tidak ada bank syariah di Indonesia tanpa ICMI, tidak ada industri halal di Indonesia tanpa peran ICMI,” kata Irfan. 

Sementara itu, Rektor IPB Prof Arif Satria menggarisbawahi, Indonesia membutuhkan pemilu yang berkualitas dan kaya akan gagasan. Ini agar pemilu Indonesia bisa menghasilkan pemimpin substansial yang dibutuhkan rakyat. Bukan sekadar pemimpin elektoral yang hanya berbasis pemenangan suara terbanyak. 

Prof Arif mengakui demokrasi di Indonesia belum matang. Ini mengacu pada fenomena sekadar berebut suara dengan pertarungan gagasan antar calon legislatif maupun calon presiden dan calon wakil presiden.

Mengutip dari pengalaman negara lain, demokrasi bisa dianggap matang setelah melewati tujuh kali pemilu. “Indonesia dengan Pemilu 2024, baru lima kali. Butuh dua kali pemilu lagi,” kata dia.

Perubahan yang substansial, ia menekankan, penting bagi rakyat Indonesia. Apalagi dengan kondisi saat ini, kata dia, di mana dunia amat cepat berubah. Perubahan yang tadinya berdampak besar di dunia saban 2.000 tahun, sekarang makin singkat. 

“Perubahan dalam 10 tahun ke depan akan dahsyat,” kata pria yang juga menjadi Ketum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Karena perubahan teknologi dan situasi makin cepat terjadi, maka akan berdampak langsung pada sumber daya manusia. Arif menganalogikan, skill digital yang saat ini menjadi amat penting, bisa berubah dalam lima tahun ke depan.

Sehingga, ia menyebut, butuh pemimpin yang mampu cepat merespons perubahan tersebut. Pemimpin itu harus bisa menghasilkan kebijakan yang memberi manfaat sistemik ke seluruh level masyarakat, mampu menelurkan kebijakan yang membawa efek berantai yang besar ke publik, serta berdampak dahsyat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement