Oleh : Fajri Matahati Muhammadin (Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada)
REPUBLIKA.CO.ID, Baru saja tanggal 29 Desember 2023, Afrika Selatan menuntut Israel dalam sengketa hukum internasional melalui the International Court of Justice atau Mahkamah Internasional. Tuntutan ini adalah karena 'dugaan' (bahasa hukumnya begitu, karena belum diputus oleh Mahkamah) tindakan genosida yang melanggar The Genocide Convention 1948. Yang dituntut oleh Afrika Selatan adalah agar Mahkamah Internasional menetapkan Provisional Measures (tindakan sementara) untuk menghentikan sementara tindakan Israel yang 'diduga' merupakan genosida melalui persidangan singkat, sebelum kemudian dilaksanakan persidangan penuh.
Ada beberapa poin menarik yang dapat kita ambil di sini. Pertama, soal 'menyeret' Israel ke pengadilan. Mahkamah Internasional tidaklah seperti pengadilan di Indonesia yang dapat saling seret-menyeret. Jika suatu negara ingin menggugat negara lain, kedua negara harus bersepakat untuk mengajukan sengketanya ke Mahkamah Internasional.
Akan tetapi, Israel merupakan negara peratifikasi pada The Genocide Convention 1948 yang Pasal 9-nya menyatakan kebersediaan negara peratifikasi untuk membawa dugaan pelanggaran konvensi ini ke Mahkamah Internasional. Sebenarnya dapat dan telah banyak dilakukan reservasi (pengecualian) atau deklarasi terhadap Pasal 9 ini misalnya oleh Malaysia, Montenegro, dan lainnya, tapi Israel tidak melakukan pengecualian apa pun. Maka, Israel tidak bisa lari.
Kedua, soal genosida. Istilah 'genosida' sering keliru dipahami sekadar sebagai pembantaian massal, padahal sejatinya ia lebih jahat lagi. Ia memiliki tujuan agar suatu kelompok (agama, ras, kewarganegaraan, dan lain-lain) harus habis, baik seluruh atau sebagiannya. Inilah yang 'diduga' dilakukan oleh Israel kepada rakyat Palestina, bahkan kepada rakyatnya sendiri dari kalangan Yahudi asal Ethiopia melalui pemandulan kimiawi.
Ironisnya, pionir dari The Genocide Convention 1948 dan juga istilah 'genosida' itu sendiri adalah Raphael Lemkin, seorang Yahudi dari Polandia. Istilah tersebut utamanya digunakan untuk mendeskripsikan kejahatan oleh Nazi terhadap etnis Yahudi di Eropa sebagai istilah hukum yang khusus. Konvensi tersebut lahir pada Desember 1948, hanya beberapa bulan setelah deklarasi pendirian Israel pada bulan Mei 1948. Akan tetapi, justru Israel sendiri yang langsung menjadi pelaku genosida sejak pendiriannya hingga sekarang.
Ketiga, kenapa bukan Indonesia atau negara Muslim lain yang menuntut? Alasan sederhananya, Indonesia sendiri bukan negara pihak pada Genocide Convention 1948. Hanya sesama negara pihak yang bisa 'menyeret'. Alasan yang lebih dalam, sengketa hukum seperti ini memposisikan para pihak sebagai subjek hukum yang sejajar di hadapan Mahkamah Internasional. Barangkali kurang tepat bagi Indonesia atau negara lain yang tidak mengakui Israel.
Tapi ini bukan berarti Indonesia diam. Banyak yang dapat dan sedang dilakukan Indonesia, apalagi baru saja Indonesia terpilih ke dalam United Nations Human Rights Council (Komisi HAM PBB) bahkan sebagai wakil ketua. Terkhusus dalam konteks Mahkamah Internasional, ada satu lagi peran Indonesia. Selain mengadili sengketa, Mahkamah Internasional dapat juga mengeluarkan Advisory Opinion (semacam fatwa hukum) terhadap pertanyaan hukum yang diajukan oleh organ PBB yang lain. Dokumen Advisory Opinion ini akan menjadi rujukan bagi PBB, dan menjadi bagian khazanah hukum internasional.
Sekarang, Mahkamah Internasional sedang mempersiapkan penyusunan Advisory Opinion terkait legalitas pendudukan Israel di Palestina. Tentunya Indonesia sedang mempersiapkan kontribusi terbaiknya di sana untuk menuntut Israel atas serentetan kejahatan internasional yang dilakukannya. Proses penyusunan Advisory Opinion akan membuka masukan dari negara-negara lain, yang tidak tidak harus memposisikan Israel (yaitu objek fatwa hukum) sebagai negara, misalnya sebagai pelaku 'penjajahan'. Mayoritas pakar dalam mendefinisikan 'colonialism' fokus pada dominasi dan subjugasi yang dilakukan, dan bukan pada jenis entitas pelakunya (sebagian menyebut 'negara', sebagian menyebut 'entitas asing', dan lain-lain) yang non-esensial. Secara historis, non-negara pun pernah melaksanakan penjajahan, misalnya Perusahaan antaranya Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC yang tidak mungkin dilupakan oleh masyarakat Indonesia.
Keempat, masalah penegakan. Jika Israel diputus bersalah oleh Mahkamah Internasional, apakah sanksi dapat ditegakkan? Dalam preseden mayoritas kasus di Mahkamah Internasional, pihak yang kalah melaksanakan keputusan Mahkamah Internasional dengan sukarela. Misalnya, setelah diputus kalah melawan Malaysia di Mahkamah Internasional pada tahun 1998, Indonesia tidak lagi melakukan klaim terhadap Sipadan dan Ligitan. Apakah Israel akan dapat ikhlas dan legawa apabila diputus bersalah oleh Mahkamah Internasional?
Baru tahun lalu Mahkamah Internasional menangani kasus serupa. Mereka mengeluarkan putusan provisional measures untuk kasus terkait Genocide Convention 1948 juga dalam kasus Ukraina melawan Rusia. Agak unik permainan Ukraina yang menyeret Rusia bukan sebagai pelaku genosida, melainkan Rusia yang menuduh Ukraina melakukan genosida dan agresi militer merupakan ‘penegakan Genocide Convention’ yang tidak sah. Rusia tidak bisa lari karena merupakan negara pihak Genocide Convention, meskipun mangkir hadir pada mayoritas persidangannya. Mahkamah Internasional pun mengeluarkan putusan provisional measures yang memerintahkan Rusia menghentikan agresi militernya.
Akan tetapi, Rusia tidak mematuhi putusan tersebut dan kita ketahui agresi mereka masih terus berlangsung. Memang, kalau tidak ada kerelaan pihak yang kalah, sulit juga menegakkan putusan Mahkamah Internasional. Tidak ada polisi maupun militer yang dimiliki oleh PBB, dan menakutkan juga membayangkan bagaimana kalau punya mengingat siapa yang ‘menguasai’ PBB. Salah satu ruang penegakan putusan Mahkamah Internasional adalah melalui Dewan Keamanan PBB, tapi sudah tentu akan kena veto oleh Rusia.
Untuk Israel pun, sangat logis untuk memprediksi hal serupa mungkin saja terjadi. Tanggapan mereka: “dengan jijik menolak fitnah berdarah oleh Afrika Selatan”. Israel memiliki sahabat yaitu Amerika Serikat yang sudah delapan puluh sembilan kali mem-veto draf resolusi Dewan Keamanan PBB yang ‘tidak ramah Israel’ sejak tahun 1945. Selain itu, dari sedikit resolusi Dewan Keamanan PBB yang dapat lolos, data tahun 2002 menunjukkan bahwa Israel memegang rekor terbanyak dalam mengacuhkannya.
Terlebih lagi, Mahkamah Internasional sudah pernah mengeluarkan Advisory Opinion pada tahun 2004 terkait pembangunan tembok di Jerusalem yang intinya menyatakan bahwa Israel melakukan pelanggaran hukum internasional yang serius. Dua puluh tahun hampir berlalu tanpa progres, dan justru hanya ada eskalasi kekerasan oleh Israel.
Akan tetapi, meskipun dua bulan belakangan penuh konflik berdarah yang tidak tampak penyelesaian, ternyata banyak perkembangan baru. Israel bisa bertahan dalam rentetan kejahatannya sampai sekarang adalah karena dukungan internasionalnya. Forum-forum 'politik tinggi' dan 'organisasi internasional' sudah 75 tahun gagal. Akan tetapi, gerakan politik dan ekonomi akar rumput masyarakat internasional yang masif memprotes dan memboikot tampaknya mulai menampakkan hasil.
Israel mulai kehilangan dukungan internasional dari negara-negara penyokongnya. Amerika Serikat pun makin tertekan secara domestik karena mendukung Israel. Bahkan pemerintah Israel sendiri mulai drastis kehilangan dukungan dari rakyatnya sendiri. Di forum PBB pun dari segala lini dan berbagai organ Israel semakin ditekan, dan kita bangga karena Indonesia berada di garis depan untuk itu. Bukan mustahil juga bahwa tahun 2024 akan menyaksikan prospek-prospek baru penyelesaian bagi masalah Palestina.