REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Di kalangan mufasir ditemukan keragaman penjelasan tentang istilah kafur dalam Alquran. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.””
Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud memang sejenis wewangian seperti yang dikenal umum.
Akan tetapi, mufasir lain berpendapat bahwa kafur yang dimaksud dalam ayat itu adalah nama diri (proper name) sebuah mata air di surga, sebagaimana ditafsirkan oleh ayat berikutnya (al-Insan ayat 6).
Menurut versi ini, kafur bukan sejenis wewangian. (lihat: Tafsir ath-Thabari juz 24 hal 93, Tafsir Ibnu Katsir juz 8 hal 287, dan Al-Tahrir wa al-Tanwir juz 15 hal 463-464, Mufradat Alfazh Alquran hal 350 entri kafa-ra, Lisân al-‘Arab juz 5 hal 144 entri kafa-ra).
Seandainya yang dipilih dari tafsir di atas adalah makna pertama, yaitu sejenis wewangian, persoalan berikutnya adalah mengenai jenis dan muasal wewangian ini.
Sejauh ini, para mufasir belum menjelaskan secara rinci dari manakah produk wewangian ini berasal. Hanya Thahir Ibnu Asyur, mufasir Mesir kontemporer, dalam Al-Tahrir wa al-Tanwir (Juz 15 hal 463) yang memberikan penjelasan agak panjang mengenai identitas kafur ini.
Baca juga: Ketika Dilanda Kesulitan Hidup, Bacalah Dzikir Istimewa Rasulullah SAW Ini
Menurutnya, “Kafur adalah sejenis minyak yang diambil dari pohon yang bunganya seperti mawar. Pohon ini tumbuh di China dan Jawa. Pohon ini dapat diproduksi (menjadi wewangian) apabila sudah berumur lebih kurang 200 tahun. Kayunya dipanaskan kemudian diambil minyaknya yang disebut kafur.”
Keterangan Thahir Ibnu Asyur di atas cukup menarik. Ia menyebut langsung tempat asal kafur, yaitu China dan Jawa. Bila yang dimaksud “Jawa” adalah pulau Jawa tentu tidak tepat, karena Jawa tidak dikenal sebagai penghasil kapur barus.
Sangat mungkin bahwa yang dimaksud “Jawa” oleh mufasir ini adalah kawasan Melayu atau Asia Tenggara. Dalam berbagai sumber sejarah, orang-orang Arab sampai awal abad ke-20 menyebut orangorang Melayu yang datang atau bermukim di Arab sebagai orang Jawa, tidak peduli apakah dia dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bima, Semenajung Malaysia, atau dari kawasan mana pun di Asia Tenggara.
Oleh sebab itu, bila dispesifikkan sangat mungkin yang dimaksud Thohir Ibnu Asyur adalah Barus di Sumatra.
Bila penjelasan ini benar...