REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Sulit melukiskan perasaan hancur para pemain tim nasional Palestinya menjelang putaran final Piala Asia 2023 di Qatar yang akan dimulai 12 Januari mendatang. Mereka bersiap menjalani turnamen bergengsi bagi negara Asia, tapi di sisi lain harus memikirkan nasib keluarganya yang tak menentu di tengah pembantaian Israel di Gaza.
Para pemain memiliki "perasaan cemas yang terus-menerus terhadap keluarga mereka," kata pelatih Palestina Makram Daboub. Sebab beberapa pemain telah kehilangan orang yang mereka cintai di daerah kantong yang dibombardir Israel, di mana stadion-stadion telah dihancurkan atau digunakan sebagai kuburan karena kurangnya pemakaman.
Dua pekan menjelang pertandingan pembuka Palestina di Piala Asia 2023 di Qatar, para pemain tim ini berjuang untuk fokus saat perang berkecamuk di Gaza yang terkepung, di mana puluhan ribu orang telah terbunuh dan terluka, dan jutaan orang tercerabut dari tempat tinggalnya akibat invasi Israel.
Beberapa pemain telah kehilangan orang yang mereka cintai dalam pemboman tanpa henti oleh Israel di wilayah yang terkepung tersebut.
"Semua orang terpaku pada berita, sebelum dan sesudah latihan, baik itu di bus atau di hotel," kata Makram Daboub, dari Arab Saudi, tempat para pemain Palestina berkumpul dan berlatih, dikutip dari TRT World, Selasa (2/1/2024).
Qatar menjadi tuan rumah Piala Asia 2023 dari 12 Januari hingga 10 Februari, dan Palestina akan memainkan pertandingan pembuka pada 14 Januari melawan Iran.
Asosiasi Sepak Bola Palestina merayakannya pada Juni tahun lalu ketika tim nasional mereka memenangi tiket berlaga di Piala Asia untuk ketiga kalinya.
Namun, dengan serangan brutal Israel di Gaza yang tidak kunjung usai, tim ini kini merasa terpukul saat mereka mencoba mempersiapkan diri untuk kompetisi mendatang.
"Kami memiliki masalah fisik, teknis dan taktis karena penangguhan pertandingan serta masalah psikologis," kata Daboub.
Pertandingan sepak bola telah ditangguhkan di Gaza yang terkepung dan Tepi Barat yang diduduki sejak 7 Oktober.
Banyak pemain yang berjuang, terutama seperti Mahmoud Wadi dan Mohammed Saleh, yang memiliki keluarga yang terjebak di Gaza, di mana rumah mereka telah dihancurkan Israel.
"Mereka menderita," kata Daboub.
Yang lainnya memiliki kerabat yang harus melarikan diri dari pemboman Israel yang tak henti-hentinya di bagian utara wilayah itu dan mencari tempat aman di bagian selatan di mana kondisinya juga sulit.
PBB mengatakan 85 persen dari 2,4 juta penduduk Gaza telah mengungsi, dan tidak ada daerah di wilayah yang padat penduduknya itu yang aman. Sebab, Israel kini telah memperluas serangannya dari utara ke selatan.