REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Mantan perdana menteri Israel periode 2006-2009, Ehud Olmert, mengatakan, serangan dan operasi infiltrasi Hamas ke negaranya pada 7 Oktober 2023 lalu merupakan bukti dari kegagalan intelektual dan psikologis, bukan intelijen. Menurutnya, keangkuhan Israel membuka celah bagi terjadinya serangan tersebut.
“Saya yakin Israel memiliki semua informasi intelijen yang diperlukan untuk mengetahui apa yang terjadi. Bahkan ada peringatan nyata dari badan intelijen sahabat. Ini adalah kegagalan psikologis dan intelektual, bukan kegagalan intelijen,” kata Olmert ketika mengomentari serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dalam wawancara dengan surat kabar Spanyol, El Pais, yang diterbitkan, Selasa (2/1/1014).
Dia berpendapat, Israel terlalu angkuh dan menganggap remeh kemampuan kelompok perlawanan Palestina. “Orang Israel sangat arogan dan mereka tidak percaya bahwa orang Palestina dapat melakukan apa yang mereka lakukan; bahwa mereka tidak cukup canggih atau bijaksana,” ucapnya.
Olmert juga kembali mengingatkan bahwa upaya melenyapkan Hamas dari Jalur Gaza akan sulit dilakukan. Dia mengatakan, Hamas memiliki 20 hingga 30 ribu anggota.
Jika Israel bisa membunuh 10 ribu di antaranya, itu bakal menjadi kerugian besar bagi Hamas. “Tapi, Hamas mempunyai 20 ribu anggota lagi dan mereka akan merekrut lebih banyak lagi. Karena jika tidak ada masa depan politik, orang-orang akan berubah menjadi teroris,” ucapnya.
Olmert menyerukan, agar pasukan Israel ditarik mundur dari Gaza. Setelah itu, upaya negosiasi untuk membebaskan orang-orang yang masih disandera Hamas perlu ditempuh.
Menurutnya, Israel juga perlu berbicara dengan para sekutunya untuk mencari mitra yang dapat mengambil kendali sementara atas Gaza guna memulihkan stabilitas di sana. Pada saat bersamaan, tambah Olmert, Otoritas Palestina harus dipersiapkan untuk menjalankan pemerintahan di Gaza menggantikan Hamas.
Dia kemudian melayangkan kritik terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Olmert berpendapat, Netanyahu hidup dalam gelembung dan telah kehilangan kontak dengan kenyataan. “Dia (Netanyahu) harus pergi. Ketidakpercayaan terhadap Netanyahu semakin meningkat. Setiap hari, semakin banyak warga Israel yang memahami bahwa dia bukanlah solusi. Dialah masalahnya,” kata Olmert.
Olemert mengungkapkan, Netanyahu menolak membahas tentang masa depan Gaza pasca perang. Hal itu karena Netanyahu terjebak di antara dua kepentingan. “Jika dia mengatakan apa yang benar-benar dia yakini, hal itu akan ditolak oleh komunitas internasional. Jika dia mengatakan apa yang komunitas internasional ingin dia katakan, dia akan kehilangan pemerintahannya,” ujarnya.
Bulan lalu, Olmert sempat menyampaikan, perang yang saat ini dilancarkan negaranya di Gaza dengan tujuan menghancurkan dan melenyapkan Hamas tidak akan berhasil. Dia menilai, janji yang diumbar Benjamin Netanyahu tentang penghancuran total Hamas sebagai sebuah kecongkakan.
“Gaza sedang terpuruk, ribuan warganya menderita dengan nyawa mereka, ribuan pejuang Hamas dengan senang hati terbunuh, namun kehancuran Hamas tidak akan tercapai,” kata Olmert dalam opininya yang dimuat di surat kabar Israel, Haaretz, 22 Desember 2023 lalu.
Dia berpendapat, walaupun pada akhirnya Israel berhasil menangkap atau membunuh para pemimpin Hamas, kelompok tersebut tidak akan pernah bisa lenyap. “Kelompok ini akan terus ada di pinggir Gaza,” ujarnya.
“Mengingat ini adalah penilaian situasi yang sebenarnya, kita harus bersiap untuk perubahan arah. Saya tahu ini mungkin tidak populer. Dalam suasana hasutan, keberanian dan arogansi yang menjadi ciri perilaku pemerintah dan pemimpinnya, kita tidak boleh segan-segan mengatakan hal-hal yang tidak jelas namun perlu, demi rasa tanggung jawab nasional,” tambah Olmert.
Menurut Olmert, saat ini Israel menghadapi dua pilihan, yakni gencatan senjata dengan kesepakatan yang dapat memulangkan para sandera atau gencatan senjata tanpa kesepakatan pemulangan para sandera. “Penghentian permusuhan ini akan dipaksakan kepada kita oleh sekutu terdekat kita, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman," ucapnya.
Mereka, lanjut Olmert, tidak lagi mampu menanggung akibat yang harus mereka bayarkan dalam opini publik. Mengingat kesenjangan antara tidak adanya resolusi militer dan berlanjutnya pertempuran yang menimbulkan kerugian kemanusiaan, yang konsekuensinya tidak akan mereka tanggung.