Rabu 03 Jan 2024 16:05 WIB

Semangat Perdamaian Dinilai Jadi Optimisme Menyambut Tahun 2024

Saat ini sudah begitu banyak para tokoh yang menyebarkan narasi moderat.

Perdamaian (ilustrasi).
Foto: cotwguides.com
Perdamaian (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki Tahun Baru 2024, bangsa Indonesia perlu merefleksikan banyak hal. Ini penting karena masih terdapat tantangan yang belum terjawab untuk mewujudkan perdamaian antarsesama, yaitu hoaks, intoleransi, ujaran kebencian, radikalisme, dan terorisme. Apalagi, tahun 2024 adalah tahun politik. Semangat perdamaian dan persatuan harus digaungkan sebagai optimisme bangsa pada tahun 2024.

Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Moch Syarif Hidayatullah mengatakan, tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan kerukunan antar golongan, baik di media sosial maupun kehidupan nyata, adalah rendahnya literasi informasi. Hal ini menyebabkan masyarakat rentan terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.

Ia menilai, tingkat literasi informasi yang bagus tentu akan membantu seseorang untuk menyerap informasi apa pun yang beredar di media sosial dengan bijak dan tepat. Literasi informasi yang kurang memadai sering kali membuat seseorang dengan mudah menyetujui berita yang datang tanpa melakukan cross check untuk menguji kebenarannya.

"Tapi karena literasi informasinya masih rendah, masyarakat kita rentan terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik," kata Syarif,  Rabu (3/1/2024).

Syarif juga mengusulkan adanya peningkatan literasi informasi di tengah masyarakat, terutama dalam penggunaan media sosial. Hal ini bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan kerukunan antargolongan, baik di media sosial maupun kehidupan nyata.

Menurut dia, rendahnya literasi informasi menyebabkan masyarakat rentan terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik. Informasi hoaks dan ujaran kebencian sering kali digunakan oleh kelompok-kelompok intoleran dan radikal untuk menyebarkan paham-paham yang dapat memecah belah masyarakat.

Oleh karena itu, peningkatan literasi informasi penting untuk dilakukan demi membekali masyarakat dengan kemampuan untuk memilah dan menyaring informasi yang mereka terima. Masyarakat harus diajarkan untuk kritis terhadap informasi yang mereka baca, lihat, atau dengar, terutama di media sosial.

Pemahaman penggunaan internet dan media sosial secara bijak dapat meningkatkan kesadaran bersama untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Masyarakat diharapkan untuk semakin bertanggung jawab dalam memberikan pernyataannya sehingga kerukunan di Indonesia dapat terjaga dengan baik.

"Masyarakat Indonesia secara luas juga perlu mendukung dan memperkuat peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menjaga kerukunan. Selain itu, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian diharapkan dapat menimbulkan efek jera serta menekan timbulnya kejahatan serupa," ujar Syarif.

Saat ini sudah begitu banyak para tokoh yang menyebarkan narasi moderat dan dengan mudah bisa diakses oleh masyarakat luas, baik di media sosial ataupun di berita online. Narasi moderat yang sarat pesan toleransi ini dapat memberikan perspektif yang lebih berimbang dalam menyikapi segala perbedaan yang ada. Oleh karena itu, penggunaan internet dan sosial media secara bijak juga dapat membangun imunitas kita terhadap narasi intoleransi dan radikalisme.

Selain itu, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta ini juga menyoroti pentingnya kesadaran bersama untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Hubungan yang harmonis antar golongan di Indonesia menjadi kekuatan sosial yang dapat mencegah masuknya intoleransi dan paham radikal yang diuntungkan dengan adanya kekacauan di masyarakat.

"Kita harus menyadari bahwa perbedaan itu adalah sesuatu karunia dari Tuhan. Perlu diingat bahwa perbedaan itu harus kita jadikan kekuatan, bukan menjadi beban," katanya.

Dirinya juga mengingatkan bahwa gesekan antar etnis atau agama masih berpotensi menjadi ancaman destabilisasi nasional, terlebih lagi menjelang Pemilu 2024. Konflik horizontal yang ditimbulkan hanya karena ingin mendongkrak elektabilitas merupakan hal yang memalukan dan jelas merugikan banyak orang, terlepas apapun latar belakang golongan atau agamanya.

"Gesekan-gesekan kecil mungkin masih ada, namun mudah-mudahan dari waktu ke waktu, dari Pilpres ke Pilpres, dari Pemilu ke Pemilu, kita sebagai bangsa sudah mulai menyadari bahwa konflik bernuansa politis adalah rutinitas yang tidak perlu," kata Syarif.

Lebih lanjut, ia menguraikan bahwa masyarakat juga jangan abai dan harus waspada kepada orang-orang yang punya kepentingan serta menghalalkan segala cara. Dalam mencapai agendanya. Mereka tidak segan jika harus membenturkan antaragama, antaretnis, dan lain sebagainya.

Dirinya juga mengingatkan bahwa narasi yang sarat pemahaman radikalisme dan terorisme sering kali memanfaatkan perbedaan agama dan etnis untuk memecah belah masyarakat. Namun, ia kembali menegaskan bahwa perbedaan itu adalah karunia dari Tuhan yang harus disyukuri dan dijaga.

"Tidak bisa dipungkiri bahwa gesekan antar etnis atau agama dapat menjadi ancaman destabilisasi nasional. Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen bangsa untuk bekerja sama menjaga kerukunan dan kedamaian," kata Syarif.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement