REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Subdit Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Ditreskrimum Polda Metro Jaya mulai mengusut kasus dugaan kebocoran dokumen rahasia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan terlapor mantan Ketua KPK Komjen (Purn) Firli Bahuri dan pengacaranya Ian Iskandar.
Dugaan kebocoran dokumen tersebut diketahui pada Firli membawa dokumen kasus dugaan suap di Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (DJKA Kemenhub) dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), beberapa waktu lalu.
Penyidik Polda Metro Jaya telah melakukan pemeriksaan terhadap Ketua Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki) Edy Susilo selaku pelapor kasus tersebut. Edy mengaku telah dimintai keterangan oleh penyidik Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada Rabu (3/1/2024).
Dia menyebut tindakan Firli dan kuasa hukumnya membawa dokumen DJKA Kemenhub dalam sidang praperadilan telah melanggar aturan. "Hal ini diduga melanggar UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, di mana dokumen penyelidikan dan penyidikan termasuk yang dikecualikan dan dirahasiakan kepada publik," terang Edy di Jakarta, Kamis (4/1/2024).
Edy menjelaskan, dokumen tersebut seharusnya menjadi rahasia internal KPK, yang seharusnya tidak sembarangan bisa keluar dari lembaga tersebut. Menurut dia, meski pada saat itu Firli masih sebagai ketua KPK nonaktif, namun yang bersangkutan tidak berhak lagi membawa dokumen tersebut keluar dari gedung lembaga antirasuah.
Apalagi, sambung dia, dalam praperadilan sendiri Firli tidak mewakili KPK. "Kapasitas Firli sendiri dalam praperadilan itu adalah personal bukan atas nama lembaga. Jadi penggunaan dokumen lembaga bukan tidak mungkin jadi temuan pelanggaran etik bahkan pidana," kata Edy.
Menurut Edy, adanya dugaan pelanggaran dengan membawa dan memasukkan dokumen DJKA yang diduga merupakan dokumen terkait penyelidikan dan penyidikan kasus OTT dan suap. Dokumen tersebut sama sekali tidak ada korelasi dengan kasus praperadilan dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Sehingga patut diduga ada tujuan lain dari Firli Bahuri dan kuasa hukumnya menggunakan dokumen tersebut. "Itu termasuk dugaan pelanggaran informasi dikecualikan atau rahasia sebagaimana diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik," kata Edy.
Dia menyebut, dokumen DKJA diduga merupakan dokumen hasil penyelidikan dan penyidikan KPK. Maka dengan dibukanya sebagai bukti dalam praperadilan itu, Firli bisa diduga melanggar ketentuan Paal 54 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juncto Pasal 322 KUHP.
Firli dan tim hukumnya diduga menggunakan dokumen tersebut untuk mencoba menekan Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto dengan mengungkap kasus DJKA. "Mereka hubung-hubungkan dengan pengusaha asal Yogyakarta, Muhammad Suryo, yang diduga terkait dengan lelang proyek kereta api di DJKA tersebut. Di mana M Suryo merupakan teman Kapolda Metro Jaya," kata Edy.
Selanjutnya Edy meminta agar penyidik juga melakukan pemeriksaan pimpinan KPK yang memberikan akses terhadap Firli membawa dokumen tersebut. Pemeriksaan terhadap pimpinan KPK perlu dilakukan untuk membuat terang benderang persoalannya.
Menurut dia, selain membawa dan menggunakan dokumen terlarang dalam gugatan praperadilan, Firli juga pernah diduga membocorkan dokumen penyelidikan kasus Tunjangan Kinerja (Tukin) di Kementerian ESDM sekitar April 2023. Padahal, kasus itu sedang ditangani KPK, malah bocor ke publik.
"Maka pemeriksaan terhadap persoalan dokumen DJKA Kemenhub itu mesti dilakukan secara simultan dan komprehensif. Ini melibatkan banyak hal dan banyak pihak, yang semuanya perlu diperiksa juga," ucap Edy.