REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengalaman Indonesia yang pernah merasakan embargo suku cadang, menjadi pelajaran, bahwa suatu negara untuk bisa berdaulat, harus memiliki pertahanan yang kuat. Tentu harus mendahulukan industri alutsista (alat utama sistem persenjataan) dalam negeri.
“Indonesia tidak bisa terlalu tergantung pada produk luar dan serba impor, karena dalam situasi konflik, sanksi embargo sewaktu-waktu dapat ditimpakan kepada suatu negara,” demikian disampaikan Ammarsjah Purba selaku Wakil Ketua TPN dalam keterangannya pada Jumat (5/1/2023).
Pasangan Ganjar-Mahfud memiliki konsep kemandirian dalam alutsista, agar Indonesia tetap berdaulat secara politik, tidak mudah didikte salah satu poros, baik itu AS, Rusia, atau China. “Indonesia memiliki potensi besar dalam industri alutsista, baik itu SDM yang kompeten dan material logam, khusus untuk material baja tahan karat bisa diproses dari cadangan nikel yang melimpah,” kata Ammar.
Ganjar-Mahfud berkomitmen mendorong kemandirian industri pertahanan sebagai bagian dari rantai pasok global, untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan yang akan memperkuat proses alih teknologi, dan penguatan daya gentar (deterrent effect). “Ganjar-Mahfud berkomitmen memordenisasi pertahanan SAKTI. Ganjar-Mahfud menginginkan transformasi pertahanan berdasarkan doktrin Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (SISHANRATA) untuk membentuk Kekuatan Pertahanan Indonesia yang berdaya gentar dan dilengkapi dengan alutsista SAKTI (Perkasa dengan Keunggulan Teknologi 5.0),” tambah Ammar.
Kemandirian alutsista juga merupakan wujud penghematan APBN. Sekadar perbandingan, TNI AD selama ini mengimpor panser angkut personel (APC) dari Perancis, buatan Renault, dengan harga 1 juta euro atau Rp 15 miliar per unit. Sementara panser Anoa produksi PT Pindad, dengan spesifikasi dan kualitas sama, harganya hanya 50 persen dari harga panser impor. “Panser Anoa kini menjadi produk kebanggaan yang kemudian dikembangkan dengan tambahan persenjataan. Anoa hanyalah salah satu contoh, bahwa bangsa kita mampu memproduksi berbagai alutsista, seperti roket, radar, tank, dan seterusnya,” tegas Ammar.
November tahun lalu Menteri Keuangan sempat menyampaikan keterangan soal rencana pemerintah, yang akan meningkatkan anggaran kredit ekspor Kementerian Pertahanan tahun 2024, sebesar 25 miliar AS (Rp 385 triliun). Tentu saja anggaran ini bakal membebani APBN, dan menambah hutang (kredit ekspor). Kredit ekspor berarti membeli produk luar dengan kredit yang dijamin pemerintah.
Pengadaan alutsista melalui impor adalah cara yang cepat, namun sangat riskan, terutama terkait harga. “Alutsista yang diimpor acapkali sangat mahal, karena bunga tinggi dan komisi yang berlipat-lipat, belum lagi kemungkinan terjadi mark-up yang sulit dikontrol, karena alasan kerahasiaan,” demikian Ammar menutup penjelasannya.