REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besaran biaya penyelenggaran ibadah haji atau (BPIH) terus meningkat setiap tahunnya dan diikuti dengan kenaikan ongkos haji yang mesti dibayarkan jamaah atau Bipih. Untuk musim haji tahun depan, Pemerintah telah menetapkan BPIH sebesar Rp 93,4 juta atau naik sebesar 3,35 juta dari tahun 2023 sebesar Rp 90,05 juta dengan BIPIH sebesar Rp 56 juta atau 60 persen dari BPIH.
Pengamat Ekonomi Syariah, Yusuf Wibisono menilai kenaikan biaya ibadah haji setiap tahunnya ini harus diantisipasi agar jamaah haji tidak terus menerus dibebankan biaya tinggi. Salah satu upayanya dengan melakukan reformasi dalam strategi investasi dana pengelolaan haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
"Dalam jangka menengah, dibutuhkan reformasi dalam strategi investasi dana kelolaan haji dimana BPKH sebaiknya mulai melakukan investasi strategis di area dimana jemaah haji selama ini dibebankan biaya tinggi," ujar Yusuf kepada Republika, Senin (8/1/2024).
Menurutnya, kenaikan BIPIH yang sangat drastis telah sangat memberatkan banyak jamaah dan melanggar hak mereka untuk menunaikan ibadah haji setelah menunggu bertahun-tahun lamanya. Dengan BIPIH kini menembus Rp 56 juta, akan semakin banyak calon jemaah haji yang akan gagal berangkat karena tidak mampu melunasi sisa BIPIH.
"Kenaikan drastis BIPIH ini juga menjadi ironi karena terjadi di tengah kualitas pelayanan haji yang masih terus rendah. Buruknya pelayanan haji masih terjadi hampir merata di semua tahapan haji, mulai dari pelayanan sebelum keberangkatan, selama di tanah suci, hingga pelayanan pasca haji," ujarnya.
Yusuf menyampaikan, salah satu komponen biaya tinggi dalam penyelenggaran haji adalah penerbangan dan hotel. Karena itu, ia menilai perlunya investasi di maskapai penerbangan dan juga investasi di hotel-akomodasi baik di Mekkah maupun di Madinah.
Ia pun menyambut baik pendirian anak usaha BPKH, yaitu Syarikah BPKH Limited, yang akan membuka peluang BPKH untuk berinvestasi di ekosistem haji dan umroh.
"Dengan berinvestasi langsung di ekosistem haji dan umroh di Arab Saudi, BPKH juga dapat memainkan peran price control atas biaya yang ditanggung jamaah haji kita," ujarnya.
Ia menekankan ibadah Haji dan umroh adalah aktivitas ritual rutin, sehingga menjadi strategis untuk menekan biaya dari komponen utama haji dan umroh yang banyak membebani jamaah Indonesia.
Pengelolaan dana setoran awal haji Rp 25 juta per jemaah oleh BPKH, terikat oleh regulasi terutama prinsip kehati-hatian dan keamanan dana, serta kepatuhan syariah. Ia mengatakan, return dana kelolaan BPKH di kisaran 6-7 persen memang konservatif tetapi terlihat sudah cukup optimal karena pengelolaan dana memang diharuskan prudent dan memenuhi prinsip syariah.
Dengan pilihan investasi terbatas di sukuk negara dan deposito bank syariah, return di kisaran 6-7 persen dapat disebut cukup wajar.
"Pilihan optimalisasi dana kelolaan BPKH yang lebih progresif tidak lagi semata mengejar return, namun bertujuan untuk menekan kenaikan bahkan menurunkan biaya haji yang signifikan, mulai dari biaya penerbangan, biaya akomodasi hingga biaya layanan masyair," ujarnya.
Yusuf pun mencermati pasca pandemi, biaya ibadah haji terus meningkat, dengan rata-rata 16,7 persen setiap tahun. Pada 2022, atau tahun pertama haji pascapandemi setelah haji ditiadakan pada 2020 dan 2021 karena Covid-19, biaya BIPIH yang ditanggung jamaah mencapai Rp 39,9 juta, meningkat 13,2 persen dibandingkan 2019 yang hanya Rp 35,2 juta.
Kemudian pada 2023, BIPIH melambung menembus Rp 49,8 juta atau melonjak 24,9 persen dibandingkan 2022. Dan kini pada 2024, BIPIH kembali naik menjadi Rp 56,1 juta atau meningkat 12,5 persen dibandingkan 2023.
Melonjaknya BIPIH didorong oleh meroketnya biaya total BPIH yang pada 2022, BPIH mencapai Rp 97,8 juta, melonjak hingga 41,4 persen dibandingkan 2019 yang hanya Rp 69,2 juta.
Menurutnya, lonjakan BPIH ini harus diikuti kenaikan BIPIH karena jika nilai manfaat dana haji mencapai 59,2 persen dari BPIH, maka pengelolaan dana haji berpotensi tidak berkelanjutan. Jika pola ini dipertahankan, yakni jamaah hanya menanggung sekitar 40 persen dari BPIH, maka nilai manfaat dana haji berpotensi akan habis pada 2027.
Maka itu, untuk menyelamatkan hak Jemaah haji di masa depan, BIPIH harus meningkat.
"Kita tentu mendukung pengelolaan dana haji yang sehat dan mencegah pola ponzi. Namun di sisi lain kita juga mempertanyakan, mengapa pola pengelolaan dana haji yang tidak sehat, dimana nilai manfaat dana haji digunakan secara sangat berlebihan untuk jemaah yg akan berangkat saat ini sehingga BIPIH terkesan murah, baru terungkap pada 2023," ujarnya.
Ia menyoroti pola BIPIH yang semakin murah, padahal BPIH terus meningkat telah terindikasi sejak 2014 dan berlangsung sampai 2019, dengan rerata turun 2,5 persen setiap tahunnya. Padahal di saat yang sama, BPIH meningkat 3,1 persen setiap tahunnya. Artinya, kata Yusuf, penurunan BIPIH sepanjang 2014-2019 bukan karena efisiensi dalam BPIH, tetapi secara sederhana karena penggunaan nilai manfaat dana haji yang terus meningkat.
Menurutnya, penggunaan nilai manfaat dana haji yang berlebihan ini baru muncul dan kemudian menjadi perhatian pada 2022 ketika BPIH meroket. Ia menilai, hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dana haji.
"Padahal ada kewajiban BPKH untuk transparansi, ada KPHI (komisi pengawas haji Indonesia), dan ada pula audit BPK. Kenaikan BIPIH secara drastis seharusnya sangat bisa dicegah, dan andai tak terhindarkan, kenaikan BIPIH seharusnya terjadi secara perlahan, tidak naik secara sangat drastis seperti pada 2022 - 2024," ujarnya.