REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Realitas menunjukkan bahwa pembombardiran yang dilakukan Israel bukan hanya melampaui batas, melainkan sungguh-sungguh biadab, yang tingkat penderitaannya tidak hanya hari ini atau beberapa bulan setelahnya.
Karena itu, sikap politik dunia yang harus dibangun bukanlah sekadar menggiring dunia (Dewan Keamanan PBB) mengeluarkan resolusi gencatan senjata atau mengutuk, apalagi hanya menyesalkan.
Hal ini karena sikap politik Israel bukan hanya mengabaikan suara dunia, melainkan jika mengindahkan pun, tidak konsisten. Hal ini tak pernah membuat para pemimpin zionis mengakhiri kebiadabannya. Jika penghentiannya bersifat sesaat, akan selalu diulangi lagi kebiadabannya.
Apalagi, kepentingan subjektifnya merasa terancam dan terganggu. Belajar dari perangai politik zionis itu kiranya menjadi krusial jika pemimpin Israel siapa pun yang berkuasa harus digiring ke statuta hukum yang sangat keras: dinilai sebagai penjahat perang akibat agresi biadabnya.
Inilah kategori yang tak pernah diformat dalam kerangka mengakhiri konflik rasial yang berkepanjangan di antara dua anak bangsa serumpun itu hingga kini.
Jika kita buka lembaran historis dunia, kategorisasi itu (penjahat perang) relatif mampu mengakhiri konflik etnik. Sekadar contoh faktual yang dapat kita petik dari perang 1992-1995 di Bosnia-Herzegovina, di mana tentara Serbia Bosnia membantai sekitar 8.000 kaum Muslim pada Juli 1995, sebuah peristiwa yang disebut-sebut sebagai pembantaian yang paling mengerikan sejak akhir Perang Dunia II.
Akibat tindakan pembasmian etnik ini, Pengadilan Militer Internasional di Den Haag memutuskan penjahat perang kepada Milenko Trifunovic, Brano Dzinic, dan Radovan Karadzic (mantan presiden Serbia Bosnia) yang masing-masing dikenai hukuman 42 tahun. Juga, kepada Milos Stupar, Slobodan Jakovljevic, dan Branislav yang masing-masing harus menjalani hukuman selama 40 tahun.
Yang perlu digarisbawahi, penyeretan mereka ke meja hijau dan pengenaannya sebagai penjahat perang benar-benar mengakhiri kondisi perang etnik di tengah Serbia Bosnia.
Bahkan, akhirnya keduanya bisa hidup berdampingan dengan masyarakat Muslim Bosnia-Herzegovina, sebuah "komponen" anak bangsa yang sama-sama warga besar bekas negara Yugoslavia. Contoh yang masih segar itu kiranya layak diterapkan untuk melihat serangan Israel terhadap anak bangsa Palestina.
Namun, dapat diprediksi, negara-negara maju, seperti Amerika Serikat atau dari komponen Eropa, bukan hanya tak sependapat dengan kategorisasi itu, tapi akan melawan gerakan kategorisasi itu, termasuk hak veto jika kondisi politiknya masuk ke ranah Dewan Keamanan PBB.
Namun, reaksi...