REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Alquran dalam Surat An-Nahl Ayat 125 menjelaskan metode dakwah dan debat yang dianjurkan Allah SWT. Prof KH Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menafsirkan bahwa ayat tersebut menjelaskan tiga metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah (debat) mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl Ayat 125)
Prof KH Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan ayat tersebut bahwa Nabi Muhammad SAW yang diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim Alahissalam sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu, kini diperintahkan lagi untuk mengajak siapapun agar mengikuti juga prinsip-prinsip ajaran bapak para Nabi dan Pengumandang Tauhid itu (yakni Nabi Ibrahim).
Ayat ini menyatakan: Wahai Nabi Muhammad, serulah yakni lanjutkan usahamu untuk menyeru semua yang kamu sanggup seru kepada jalan yang ditunjukkan Tuhanmu, yakni ajaran Islam dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka yakni siapapun yang menolak atau meragukan ajaran Islam dengan cara yang terbaik.
Itulah tiga cara berdakwah yang hendaknya kamu tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam peringkat dan kecenderungannya.
Jangan hiraukan cemoohan atau tuduhan-tuduhan tidak berdasar kaum musyrikin dan serahkan urusanmu dan urusan mereka pada Allah, karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu Dialah sendiri yang lebih mengetahui dari siapapun yang menduga tahu tentang siapa yang bejat jiwanya sehingga tersesat dari jalan-Nya dan Dialah saja juga yang lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk.
Ayat ini dipahami oleh ulama menjelaskan tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. (Pertama) terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.
(Kedua) terhadap kaum awam, diperintahkan untuk menerapkan mau‘izhah yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana.
(Ketiga) sedang terhadap Ahl al-Kitab dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan adalah jidal/ perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
Sedang jidal (perdebatan) terdiri dari tiga macam. Pertama, yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan serta yang menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Kedua, yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui oleh lawan. (Ketiga, yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar, lagi membungkam lawan.
Penyebutan urutan ketiga macam metode itu sungguh serasi. Ia dimulai dengan hikmah yang dapat disampaikan tanpa syarat, disusul dengan mau‘izhah dengan syarat hasanah, karena memang ia hanya terdiri dari macam, dan yang ketiga adalah jidal yang dapat terdiri dari tiga macam buruk, baik dan terbaik, sedang yang dianjurkan adalah yang terbaik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Alquran, demikian juga cara berdakwah Nabi Muhammad SAW mengandung ketiga metode di atas. Ia diterapkan kepada siapapun sesuai dengan kondisi masing-masing sasaran.
Di atas telah dikemukakan bahwa sementara ulama membagi ketiga metode ini sesuai dengan tingkat kecerdasan sasaran dakwah. Yakni cendekiawan, yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi diajak dengan hikmah.
Adapun orang awam yang belum mencapai tingkat kesempurnaan akal, tidak juga telah terjerumus dalam kebejatan moral, maka mereka disentuh dengan mau‘izhah. Sedang penganut agama lain dengan jidal. Pendapat ini tidak disepakati oleh ulama. “Bisa saja ketiga cara ini dipakai dalam satu situasi atau sasaran, bisa juga dipakai hanya dua cara atau satu cara, masing-masing sesuai sasaran yang dihadapi.
Bisa saja cendekiawan tersentuh oleh mau‘izhah, dan tidak mustahil pula orang-orang awam memperoleh manfaat dari jidal dengan yang terbaik.
Thabathaba’i, salah seorang ulama yang menolak penerapan metode dakwah itu terhadap tingkat kecerdasan sasaran.
Thahir Ibn Asyur yang berpendapat serupa dan menyatakan bahwa jidal adalah bagian dari hikmah dan mau‘izhah. Hanya saja, tulisnya, karena tujuan jidal adalah meluruskan tingkah laku atau pendapat, sehingga sasaran yang dihadapi menerima kebenaran, maka ia tidak terlepas dari hikmah atau mau‘izhah, ayat ini menyebutnya secara tersendiri berdampingan dengan keduanya guna mengingat tujuan dari jidal itu.