Oleh: Teguh Setiawan, Jurnalis dan Penulis Sejarah.
Perhatikan kain, atau sarung, yang dikenakan wanita Belanda ini. Apakah itu batik Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Cirebon, atau batik dari wilayah lain di Pulau Jawa?
Tidak. Itu bukan batik Jawa. Louise Rahardjo, dalam tulisannya di javapost.nl. mengatakan itu batik Belanda. Ya..orang Belanda di Hindia-Belanda, terutama Pulau Jawa, juga bikin batik.
Sejauh ini, yang kita tahu hanya batik Cina sebagai batik yang dibuat orang non-Jawa. Batik Cina sangat khas dengan motif bergaya Tionghoa, dan dikenakan perempuan keturunan Cina di sekujur pantai utara Jawa.
Menurut Louise Rahardjo, batik Belanda muncul tahun 1850. Pembuat pertamanya adalah Mevrouw (Nyonya) Franquemont -- yang membuka bengkel batik kecil-kecilan di Oengaran, Jawa Tengah.
Batik karya Franquemont ternyata populer di kalangan perempuan kulit putih Belanda dan Eropa yang tinggal di sekujur Hindia-Belanda.
Franquemont bekerja sama dengan pedagang Cina dan Arab untuk memasarkan produknya ke sekujur tanah jajahan, sehingga tidak mengandalkan pasar Jawa.
Pedagang Cina dan Arab memonopoli kapas, lilin, tembaga untuk canting, dan pewarna alami. Franquemont membeli semua bahan itu dari kedua komunitas itu. Sebagai imbalannya semua produk batik Belanda diserahkan ke pedagang Cina dan Arab.
Artinya, pedagang Arab dan Cina menikmati dua keuntungan; dari penjualan bahan dasar pembuatan batik dan monopoli pemasaran produk batik meski demikian ceruk pasar batik Belanda relatif terbatas.
Produsen batik Jawa sempat menghadapi situasi serupa. Pedagang Cina dan Arab hanya bersedia menjual bahan dasar pembuatan batik; kapas, pewarna alami, tembaga untuk canting, dan lilin, kepada pribumi jika produk batik masyarakat dijual kepada mereka.
Sarekat Dagang Islam (SDI) menolak gagasan itu, yang membuat pengarajin batik sekujur Jawa sempat berhenti berproduksi akibat ketiadaan bahan baku. Haji Samanhudi, ketua SDI saat itu, membuat terobosan dengan mengirim tim ke Italia untuk membeli tembaga, kapas, lilin, dan pewarna, ke Italia.
Pedagang Cina akhirnya berinovasi dengan membuat batik Tionghoa. Batik dipasarkan di kalangan perempuan Tionghoa di sekujur Jawa. Meski ceruk pasar kecil, batik Cina bertahan sampai pergantian abad.
Mengapa Belanda Pake Batik?
Perempuan kulit putih Belanda dan non-Belanda membanjiri Hindia-Belanda setelah pembukaan Terusan Suez 1869. Sebelumnya, perjalanan Belanda-Hindia Belanda memakan waktu 9 bulan. Setelah Terusan Suez dibuka, perjalanan ke tanah jajahan hanya enam pekan.
Keluarga Belanda, terdiri diri suami-istri dan anak-anak mereka, memadati kapal. Di Batavia dan kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, populasi keluarga Belanda tumbuh sekian kali lipat.
Pada bulan-bulan pertama di Hindia Belanda, perempuan Belanda berpakaian seperti di Eropa. Mereka lupa, cuaca di Hindia Belanda panas. Pakaian Eropa tak cocok dikenakan di tanah jajahan.
Mereka meniru perempuan pribumi, mengenakan sarung dan kebaya. Ternyata cocok. Namun, sampai Franquemont membuka studio batik, belum ada yang melihat situasi ini sebagai ladang bisnis.
Setelah batik Belanda muncul dan populer di kalangan kulit putih, studio lain bermunculan di kota-kota di Jawa. Bengkel-bengkel batik itu merekrut pengrajin pribumi yang mengerjakan motif batik pesanan produsen.
Agar tidak kehilangan pengrajin, bos batik Belanda memberikan tunjangan di muka relatif besar dengan jangka waktu kerja tertentu. Jika pindah sebelum kontrak kerja habis, pengrajin harus mengembalikan seluruh tunjangan yang dibayar di muka.
Kini, batik Belanda entah ke mana. Setelah perempuan yang mengenakannya pulang ke kampung halaman, batik Belanda tinggal sejarah di tanah jajahan.
Di Belanda, batik Belanda masih digunakan sebagai alat nostalgia perempuan yang pernah tinggal di Hindia Belanda. Namun, populasi mereka terus menyusut seiring waktu. Kelak, batik Belanda hanya mengisi katalog sejarah mode.