Jumat 12 Jan 2024 01:47 WIB

Pendapat Ulama Empat Mazhab tentang Puasa Rajab

Puasa sunah di bulan Rajab termasuk persoalan khilafiyah.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Hidangan berbuka puasa (Foto: ilustrasi)
Foto: www.pixabay.com
Hidangan berbuka puasa (Foto: ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bulan Rajab termasuk salah satu bulan suci dalam Islam, sehingga pada bulan ini banyak muslim yang melakukan ibadah puasa sunah. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang puasa sunah di bulan Rajab, ada yang menyunahkan dan ada juga yang melarangnya.

Semua ulama empat madzhab dalam Islam, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali sepakat mengenai dibolehkannya puasa bulan Rajab secara tidak penuh. Yang terjadi perbedaan pendapat adalah terkait berpuasa penuh di bulan Rajab tanpa disertai dengan puasa lainnya. Dan khilafiyah yang terjadi berkisar antara hukum sunnah dengan makruh, bukan haram.

Baca Juga

Pendapat Mazhab Hanafi

Para ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa puasa di bulan Rajab secara mutlak adalah perkara yang disukai. Sebagaimana jika seorang bernadzar untuk berpuasa penuh di bulan Rajab, maka ia wajib berpuasa sebulan penuh dengan berpatokan pada hilalnya. (Syarh Fath Al Qadir, 2/391) 

Sedangkan dalam buku kumpulan fatwa-fatwa dari madzhab Hanafi, al-Fatawa al-Hindiyyah dijelaskan:

في الفتاوي الهندية 1/202 : ( المرغوبات من الصيام أنواع ) أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء ) اه

“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”

Pendapat Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat mengenai kesunnahan puasa di bulan Rajab secara mutlak, meski dengan sebulan penuh. Ulama Mazhab Maliki menyatakan bahwa bulan-bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah tiga, yakni Al Muharram, Rajab dan Sya’ban.

Ad Dardir menyatakan bahwasannya disunnahkan puasa bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban, demikian juga di empat bulan haram yang di mana paling utama adalah Muharram kemudian Rajab lalu Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. (Syarh Ad Dardir ‘ala Khalil, 1/513)

Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:

(والمحرم ورجب وشعبان ) يعني : أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم )

“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” 

Maksudnya adalah bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”

Pendapat Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi’i menyunnahkan puasa Rajab secara mutlak, tanpa memandang bahwa amalan itu dilakukan di sebagian bulan Rajab atau di seluruh hari-harinya.

Namun, Imam Syafi’i dalam pendapat qadim menyatakan, makruh menyempurnakan puasa satu bulan di selain bulan Ramadhan, agar tidak ada orang jahil yang meniru dan mengira bahwa puasa itu diwajibkan, karena yang diwajibkan hanyalah puasa Ramadhan. Namun ketika unsur itu hilang, Imam Syafi’i menyatakan,”jika ia mengerjakan maka hal itu baik.” (Fadhail Al Auqat, 28)

Para ulama Mazhab Syafi'i menyunahkan puasa di bulan Rajab sebagaimana perkataan Imam An Nawawi:  ”Telah berkata ashabuna: Dari puasa yang disunnahkan adalah puasa di bulan-bulan haram, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Al Majmu’, 6/438)

Hal senada juga disampaikan Ibnu Hajar Al Haitami. Dia menyatakan, ”Dan disunnahkan (puasa) di bulan-bulan haram, bahkan ia adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa setelah Ramadhan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram dan Rajab.” (Minhaj Al Qawim dengan Hasyiyah At Tarmasi, 5/804,805)

Sementara itu, para ulama Mazhab Hanbali menyatakan bahwa mengkhususkan puasa di bulan Rajab hukumya makruh. Namun, Al Buhuti melanjutkan, ”Dan hilang kemakruhan dengan berbuka meskipun hanya sehari, atau berpuasa pada bulan lain di tahun itu.” (Kasyf Al Qina’, hal. 1003)

Hal yang sama juga disampaikan Ibnu Rajab Al Hanbali, bahwa kemakruhan puasa di bulan Rajab hilang dengan tidak berpuasa penuh di bulan Rajab atau berpuasa penuh dengan menambah puasa sebulan di bulan lainnya di tahun itu. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan tidak berpuasa Rajab secara penuh kecuali bagi yang berpuasa terus-menerus. (Lathaif Al Ma’arif, hal. 230)

Dengan demikian, mazhab Hanbali hanya memandang makruh bagi yang mengkhususkan Rajab untuk berpuasa sebulan penuh, namun ketika hal itu dilakukan tidak penuh di bulan itu, atau berpuasa penuh namun dengan berpuasa sebulan di bulan lain maka hilanglah unsur kemakruhan.

Sementara itu, dalam bukunya yang berjudul //Masuk Neraka Gara-Gara Puasa Rajab?//, Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA menjelaskan, ada beberapa fatwa dari para ulama khalaf (kontemporer) yang mengatakan, puasa di bulan Rajab hukumnya bid'ah. Di antaranya adalah fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, juga Syekh Shalif Fauzan.

Ada juga ulama yang berpendapat bahwa hukum puasa di bulan Rajab adalah makruh, yaitu pendapat dari sebagian ulama salaf, khususnya mazhab al-Hanabilah (Hanbali). Namun, sebagian besar ulama (jumhur) di luar mazhab Hanbali justru menghukumi sunah berpuasa pada bulan Rajab.

Para ulama yang membolehkan atau menyunahkan puasa di bulan Rajab di antaranya adalah Ibnu Shalah, Al-Izz Ibnu Abdissalam, As-Sututhi, Ibnu Hajar al-Haitsami, Ash-Shawi, dan Asy-Syaukani serta masih banyak lagi lainnya.

Berdasarkan perbedaan pendapat ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa puasa sunah di bulan Rajab termasuk masalah khilafiyah. Meski ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, umat Islam tidak boleh saling mencaci atau menghina. Sebaliknya, semua pendapat itu wajib dihormati.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement