REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Terlihat tentara dan polisi berpatroli di jalanan sepi Ibukota Port Moresby, Papua Nugini sementara warga mengantri bahan bakar. Negara itu mendeklarasikan masa darurat dalam merespon kerusuhan dan kekerasan masif pada Kamis (11/1/2024).
Perdana Menteri James Marape mendeklarasikan masa darurat selama 14 hari. Langkah ini menutup beberapa kantor pemerintah dan menurunkan 1.000 tentara lebih ke jalan-jalan. Kerusuhan pecah dalam unjuk rasa memprotes upah polisi dan pegawai negeri yang memicu penjarahan yang menewaskan setidaknya 16 orang.
Kota itu kembali ke "normal yang baru" pada Jumat (12/1/2024) pagi. Kepala layanan darurat St John Ambulance cabang Port Moresby, Matt Cannon mengatakan terlihat banyak tentara dan polisi di jalan-jalan dan antrean panjang di pom bensin.
"Kami memperkirakan pasar swalayan yang dapat beroperasi dibuka kembali hari ini dan saya mendengar mereka meningkatkan keamanan untuk menghadapi orang dalam jumlah besar," kata Cannon. Kerusuhan pecah ketika polisi dan pegawai negeri sipil menggelar mogok kerja pada Rabu (10/1/2024) sebagai protes pemotongan gaji yang pemerintah sebut diakibatkan kesalahan administrasi.
Dalam hitungan jam, ribuan orang turun ke jalan melakukan penjarahan dan kerusuhan dengan latar asap dan gedung-gedung yang terbakar. Massa juga berusaha menerobos masuk kantor perdana menteri.
Mengutip polisi, stasiun televisi Australia, ABC melaporkan sembilan orang tewas dalam kerusuhan di Port Moresby. Namun pada Jumat pagi situasi mulai tenang ketika Eddie Alloy berangkat kerja dengan bus ke Rumah Sakit Umum Port Moresby.
Sebagian besar kendaraan di jalan merupakan milik pemerintah. Ia mengatakan, banyak orang yang kehabisan bensin karena pom bensin tutup. "Semua terhenti sekarang, tidak banyak orang di jalan dan polisi dan tentara berpatroli dengan jalan kaki. Tidak ada penjarahan yang terjadi," katanya.