REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran mengendus ada pihak yang sedang melakukan operasi penggagalan Pemilu 2024. Mereka melihat sejumlah indikasi yang menguatkan dugaan tersebut, salah satunya adalah tersebarnya koran gelap Achtung.
"Masukan dari masyarakat kepada kami mengenai dugaan kegiatan atau aktivitas yang tujuannya untuk menggagalkan Pemilu 2024. Pertama, penyebaran koran gelap 'Achtung' yang sangat masif yang isinya adalah fitnah," kata Wakil Ketua TKN, Habiburokhman saat konferensi pers di Media Center TKN, Jakarta Selatan, Jumat (12/1/2024).
Dia mengatakan, koran yang isinya menyudutkan Prabowo itu sudah beredar dalam dua atau tiga hari terakhir. Koran gelap itu tersebar di kota-kota besar seperti Jakarta, Pekanbaru, Lampung, serta sejumlah daerah lain seperti Jawa Barat, Aceh, dan Sumatera Utara.
Pada halaman utamanya, koran Achtung menulis 'Inilah Penculik Aktivis 1998' dengan latar foto Prabowo. Habiburokhman mengatakan, koran itu memuat tulisan yang menyebut capres nomor urut 2, Prabowo Subianto sebagai penculik aktivis reformasi '98.
Habiburokhman tegas membantah narasi koran Achtung tersebut. Setidaknya, kata dia, ada empat fakta hukum yang membuktikan Prabowo tidak terlibat dalam kasus penculikan ataupun penghilangan aktivis 98.
Anggota Komisi Hukum DPR RI itu menjelaskan, fakta pertama, tidak ada keterangan saksi dalam persidangan terhadap Tim Mawar Kopassus TNI AD yang menyebutkan adanya perintah Prabowo untuk menculik aktivis 98. Sebagai catatan, Prabowo merupakan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus 1995-1998.
Fakta kedua, kata dia, keputusan Dewan Kehormatan Perwira No. KEP/03/VIII71998/DKP dengan terperiksa Letjen Prabowo Subianto bukanlah keputusan peradilan dan bukan keputusan lembaga setengah peradilan. "Itu sifat putusannya pun hanya rekomendasi dan ini bisa dilihat di akhir keputusan tersebut," kata Habiburokhman.
Fakta ketiga, Presiden ke-3 RI, BJ Habibie memberhentikan Prabowo dari TNI dengan hormat. Keempat, Komnas HAM tidak bisa melengkapi hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat yang dituduhkan kepada Prabowo, kepada Kejaksaan Agung sejak 2006.
"Padahal menurut ketentuan Pasal 20 UU Nomor 26 Tahun 2000, waktu Komnas HAM untuk melengkapi hasil penyelidikan tersebut hanyalah 30 hari," ujarnya.
Selain beredarnya koran Achtung, kata Habiburokhman, indikasi lain operasi penggagalan Pemilu 2024 adalah adanya upaya menghasut mahasiswa. Menurut dia, penghasutan dilakukan agar mahasiswa menggelar aksi demonstrasi dengan narasi politik dinasti dan menuntut penangkapan terhadap terduga pelanggar HAM.
Meski meyakini Prabowo tidak melanggar HAM, Habiburokhman khawatir seruan tersebut aksi demonstrasi itu akan dibelokkan untuk memfitnah pihak-pihak yang berkontestasi dalam Pemilu 2024. “Kita tahu di era pemilu ini kan sangat sensitif ketika adanya demonstrasi, tentu memancing adanya reaksi dari pihak-pihak lain," katanya.
Selanjutnya, TKN juga memperoleh laporan adanya upaya membenturkan TNI dengan masyarakat saat Pemilu 2024 bergulir. Habiburokhman mencontohkan kasus pemukulan oknum TNI terhadap relawan Ganjar-Mahfud di Boyolali.
Menurutnya, insiden serupa bisa terjadi meski bukan di saat Pemilu 2024. Dia melihat insiden Boyolali sudah ditangani dengan baik oleh pimpinan TNI. "Kita lihat KSAD sudah tegas menindak semua oknum anggota TNI yang melakukan pelanggaran. Tetapi ada pihak-pihak yang terus menggoreng isu ini, seolah-seolah TNI secara sistematis berpihak pada satu pihak dan mengintimidasi pihak yang lain," ujarnya.
Terakhir, Habiburokhman menyebut adanya narasi menunda atau menghentikan bantuan sosial (bansos) saat Pemilu 2024. Habiburokhman menilai jika program pemerintah tersebut dihentikan justru akan mengganggu keberlangsungan Pemilu 2024.
“Reaksinya akan sangat keras dari masyarakat dan pertaruhannya tentu keberlangsungan pemilu yang kita inginkan secara damai tidak terwujud," ucapnya.