Oleh: Dr Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh,
Bregman (2020) mendefinisikan self-fulfilling prophecy sebagai "fenomena di mana ekspektasi kita tentang orang lain mempengaruhi perilaku mereka" (Bregman, 2020: 17). Dengan kata lain, apa yang kita pikirkan tentang orang lain dapat mempengaruhi bagaimana mereka bertindak.
Makna dari self-fulfilling prophecy adalah bahwa kita dapat membentuk kenyataan sosial kita sendiri dengan cara kita memandang orang lain. Jika kita percaya bahwa orang lain baik, maka kita akan bersikap ramah dan kooperatif kepada mereka, dan mereka pun akan merespon dengan cara yang sama.
Sebaliknya, jika kita percaya bahwa orang lain jahat, maka kita akan bersikap curiga dan bermusuhan kepada mereka, dan mereka pun akan merespon dengan cara yang sama. Self-fulfilling prophecy dapat memiliki dampak positif atau negatif tergantung pada ekspektasi kita.
Oleh karena itu, Bregman (2020) menyarankan kita untuk "mengasumsikan hal-hal baik tentang orang lain" (Bregman, 2020: 18), karena dengan begitu kita dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih harmonis dan produktif.
Hanya orangorang yang baik saja yang akan bertahan di muka bumi ini. The survival of the friendliest adalah sebuah teori yang mengatakan bahwa manusia modern berhasil berevolusi dan bertahan hidup karena memiliki sifat ramah dan kooperatif yang tidak dimiliki oleh spesies manusia lainnya.
Teori ini didasarkan pada hipotesis bahwa manusia mengalami proses domestikasi diri, yaitu seleksi alam yang mengurangi agresivitas dan meningkatkan kemampuan sosial dan kognitif. Teori ini dikemukakan oleh antropolog Brian Hare dan penulis Vanessa Woods dalam buku mereka yang berjudul Survival of the Friendliest: Understanding Our Origins and Rediscovering Our Common Humanity (2020).
Menurut Hare dan Woods, manusia modern memiliki keunggulan atas spesies manusia lainnya, seperti Neanderthal, karena mampu berkolaborasi, berkomunikasi, dan berempati dengan sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya. Mereka menyebut sifat ini sebagai friendliness, yang berbeda dengan kindness. Friendliness adalah kemampuan untuk menarik perhatian, membangun hubungan, dan memanfaatkan informasi dari orang lain, sedangkan kindness adalah kemampuan untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Kedua sifat ini saling melengkapi, tetapi friendliness lebih penting untuk survival, dan ini tidak dimiliki oleh satu elit politisi pun di negara Israel.
Hare dan Woods juga menjelaskan bagaimana proses domestikasi diri terjadi pada manusia. Mereka mengacu pada sindrom domestikasi, yaitu perubahan fisiologis, morfologis, perilaku, dan kognitif yang terjadi pada hewan yang didomestikasi oleh manusia. Perubahan ini meliputi penurunan ukuran otak dan gigi, perubahan bentuk tengkorak dan telinga, peningkatan hormon serotonin dan oksitosin, perpanjangan masa kanak-kanak, dan peningkatan kemampuan komunikasi kooperatif.
Hare dan Woods berpendapat bahwa sindrom domestikasi juga terjadi pada manusia akibat seleksi alam terhadap individu yang lebih ramah dan kurang agresif. Alam akan menyeleksi orang-orang yang ramah dan berbudi baik saja yang akan mampu bertahan dan tidak punah dalam kekacauan dan perang. Tentara-tentara IDF yang penuh dengan angkara murka satu per satu akan menemui kematian perdata dan kematian dalam perang melawan gerilyawan mujahidin Palestina yang lebih gesit, die-hard dan cerdik.
Hare dan Woods juga membahas dampak positif dan negatif dari sifat ramah manusia. Di satu sisi, sifat ini memungkinkan manusia untuk menciptakan budaya, teknologi, seni, bahasa, dan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Di sisi lain, sifat ini juga membuat manusia rentan terhadap manipulasi, prasangka, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap berbeda atau ancaman. Hare dan Woods menyarankan agar manusia menggunakan friendliness sebagai alat untuk memperluas lingkaran sosial mereka dan mengatasi perpecahan yang ada di dunia.
Salah satu langkah yang perlu diambil untuk menyelesaikan konflik Israel dan Palestina adalah melakukan boikot diplomatik terhadap negara-negara yang melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional. Diplomat harus berani mengambil sikap tegas dan tidak hanya mengikuti protokol yang biasa saja. Diplomat bukanlah pejabat administrasi atau birokrasi yang hanya mencatat data dan angka. Diplomat harus menjadi agen perubahan yang bisa mempengaruhi kebijakan dan sikap negara-negara lain. Diplomat harus menggunakan kekuatan diplomasi untuk mendorong perdamaian dan kesejahteraan dunia.***
Referensi:
Bregman, Rutger. Humankind: A hopeful history. Bloomsbury Publishing, 2020.
Geddes, Linda. (2014). Survival of the friendliest. New Scientist, Vol. 224(2998), 30-31.
Hare, B. (2017). Survival of the friendliest: Homo sapiens evolved via selection for prosociality. Annual review of psychology, Vol. 68, 155-186.
Hare, B., & Woods, V. (2020). Survival of the friendliest: Understanding our origins and rediscovering our common humanity. Random House Trade Paperbacks.
Sunstein, C. R. (2020). The triumph of the friendly: A review of Brian Hare and Vanessa Woods, survival of the friendliest: Penguin Random House, New York. Behavioural Public Policy, Vol. 4, (No.2), 131-135.
Turke, P. W. (2021). Brian Hare and Vanessa Woods Survival of the Friendliest: Understanding Our Origins and Rediscovering Our Common Humanity New York: Random House 2020 Pp. 304 ISBN: 9780399590665 $28 (hardcover). Politics and the Life Sciences, Vol. 40, (No. 1), 68-69.