Sabtu 13 Jan 2024 12:29 WIB

Akankah Aksi Biden di Yaman Ulangi Kesalahan Terburuk Obama di Libya?

Pada 19 Maret 2011, Presiden Obama memberikan persetujuan serangan udara atas Libya.

Rep: Kabar Dunia dan Indonesia/ Red: Partner
.
Foto: network /Kabar Dunia dan Indonesia
.

Ribuan orang melakukan aksi protes terhadap serangan udara AS dan Inggris di Sana'a, Yaman (12/1/2024). (EPA-EFE/YAHYA ARHAB)
Ribuan orang melakukan aksi protes terhadap serangan udara AS dan Inggris di Sana'a, Yaman (12/1/2024). (EPA-EFE/YAHYA ARHAB)

WASHINGTONPresiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, memerintahkan penyerangan terhadap sejumlah target terkait Houthi di Yaman, Kamis (11/1/2024) malam. Kongres berang atas langkah Biden karena mengerahkan serangan tanpa persetujuan mereka.

Biden dianggap melanggar konstitusi karena lancang melangkah tanpa melalui persetujuan Kongres. Di sisi lain, sejumlah pakar menyatakan hukum AS memberi Gedung Putih otoritas untuk melakukan aksi militer terbatas di luar negeri.

‘’Tak ada alasan kuat untuk mencegah Biden melakukan aksi militer tersebut,’’ kata Michael O'Hanlon, direktur riset di lembaga penelitian mengenai kebijakan luar negeri, Brookings Institution, seperti dilansir Reuters, Jumat (12/1/2024).

Apa yang Biden Lakukan?

Pesawat tempur AS-Inggris didukung kapal serta kapal selam melancarkan puluhan serangan udara ke seantero Yaman, pada Kamis tengah malam atau Jumat dini hari. Mereka mengeklaim serangan ini balasan serangan Houthi terhadap kapal dagang di Laut Merah.

Pemerintahan Biden memang telah menginformasikan kepada Kongres mengenai serangan ini, tetapi tak meminta persetujuan mereka.

Bagaimana Konstitusi AS Mengaturnya?

Sejumlah anggota Kongres yang progresif dari Partai Demokrat melayangkan kritik terhadap Biden. Mereka menyatakan Artikel 1 dalam konstitusi menyatakan perang butuh otorisasi dari Kongres bukan presiden. Ini sebagai check and balance dalam sistem politik.

Meski demikian, Artikel 2 menyebutkan presiden merupakan panglima angkatan bersenjata dan memberikan wewenang kepadanya untuk mengerahkan kekuatan militer tanpa persetujuan Kongres dengan dengan tujuan pertahanan.

Mereka yang mendukung aksi Biden ini menyatakan, tujuan defensif ini termasuk merespons serangan terhadap pangkalan militer AS di Irak dan Suriah serta kapal-kapal komersial di Laut Merah oleh kelompok bersenjata Houthi.

Apakah Biden Melanggar UU Perang?

Selain di konstitusi, penggunaan kekuatan militer diatur pula dalam War Powers Resolution, yang disetujui Kongres pada 1973 sebagai kontrol kekuatan presiden saat Perang Vietnam.

Resolusi ini mengatur aksi militer tanpa... (buka halaman 2)


Resolusi ini mengatur aksi militer tanpa adanya deklarasi perang atau otoritas legal secara spesifik yang diputuskan dalam kurun 60 hari. Disebutkan juga, presiden mesti memberikan laporan ke Kongres dalam kurun 48 jam atas serangan yang dia perintahkan.

Termasuk mengenai alasan serangan perlu dilakukan, kondisinya seperti apa sehingga perlu melakukan serangan, cakupan dan lama serangan, serta korban yang jatuh dalam aksi militer yang diperintahkan presiden itu.

Lalu, Apa yang Terjadi Sekarang?

Pakar keamanan dan hukum mengatakan respons jangka panjang bergantung pada kejadian dan kondisi di lapangan. Serangan tak akan mewujud lebih besar jika konflik melawan Houthi tak meningkat eskalasinya dan Kongres terus mendapatkan informasi.

‘’Saya pikir, terlalu dini mengatakan bakal adanya tindakan lebih jauh dari Kongres,’’ ujar Brian Finucane, mantan pengacara Kementerian Luar Negeri AS dan penasihat senior program Crisis Group. Sikap Kongres, kata dia, bisa berubah seiring waktu.

Khususnya, jika ada Houthi terus menargetkan kapal-kapal komersial di Laut Merah dan serangan terhadap Yaman berlanjut. Para pakar tersebut juga mencatat, Kongres bisa meloloskan legislasi untuk membatasi presiden jika ingin mengimbang hukum yang sudah ada.

Adakah Preseden Sebelumnya?

Kongres meloloskan resolusi untuk membatasi wewenang perang presiden pada 2020, menyusul perintah serangan oleh Presiden Donald Trump yang akhirnya menewaskan petinggi Garda Revolusi Iran, Qassem Soleimani di bandara Baghdad, Irak, tanpa ada info ke Kongres.

Trump memveto resolusi Kongres dan ia tak memperoleh dukungan memadai dari rekan-rekannya dari Partai Republik yang berada di Kongres.

Sebelumnya, pada 19 Maret 2011, Presiden Obama memberikan persetujuan serangan udara atas Libya hingga akhirnya kekuasaan pemimpin Libya Muamar Qaddafi runtuh. Serangan ini dilakukan tanpa persetujuan dari Kongres.

Namun, Obama menyesali kebijakannya itu dan menyatakan itu kesalahan terburuk yang pernah ia ambil sebagai presiden. Operasi militer AS memang mampu menjatuhkan Qaddafi dan menewaskannya, tetapi meninggalkan Libya dalam kondisi kacau hingga kini. (reuters/han)

sumber : https://diplomasi.republika.co.id/posts/266264/akankah-aksi-biden-di-yaman-ulangi-kesalahan-terburuk-obama-di-libya
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement