Ahad 14 Jan 2024 07:49 WIB

Menggusur Tanah Warga demi Kepentingan Umum, Bolehkah?

Menggusur harus dibarengi dengan kompensasi yang adil.

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Erdy Nasrul
Penghuni rumah terlibat saling dorong dengan petugas Satpol PP yang akan menggusur bangunan liar, di Medan, Sumatera Utara, Jumat (13/9/2019).
Foto: Antara/Irsan Mulyadi
Penghuni rumah terlibat saling dorong dengan petugas Satpol PP yang akan menggusur bangunan liar, di Medan, Sumatera Utara, Jumat (13/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah banyak dibangun infrastruktur jalan, khususnya jalan tol. Pembangunan tersebut dilakukan guna konektivitas sehingga akan mempercepat pergerakan orang atau barang dari satu kota ke kota lainnya. Pemerintah memandang dengan begitu akan memberikan dampak terhadap ekonomi masyarakat.

Namun, dalam proses pembangunan jalan tol, harus ada yang dikorbankan. Tanah-tanah masyarakat dan rumah harus tergusur. Bahkan, beberapa dari mereka kehilangan mata pencaharian setelah terbangunnta tol seperti yang terjadi di sepanjang jalan Pantura Jawa. Kios-kios ataupun rumah makan mati suri karena volume kendaraan menurun drastis sejak adanya tol transjawa.

Baca Juga

Pembangunan jalan tol bahkan masih menyisakan masalah karena warga yang digusur merasa dirugikan. Uang ganti rugi dinilai tidak sesuai dengan kesepakatan atau terlalu kecil. Bagaimana hukum Islam tentang penggusuran rumah warga demi kepentingan umum?

Nahdlatul Ulama (NU) pernah membahasnya terkait masalah ini pada Muktamar ke-29 di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat 1994 sebagaimana dikutip oleh Mahbub Maafi dalam bukunya "Tanya Jawab: Fikih Sehari-Hari". Dalam keputusannya, pada dasarnya menggusur rumah warga untuk kepentingan umum diperbolehkan sepanjang sesuai syariat. Selain itu ganti rugi yang ditawarkan oleh pemerintah beraskan keadilan atau memadai.

Keputusan NU tersebut merujuk kepada penggusuran tanah warga yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab ra untuk kepentingan perluasan Masjidilharam, sebagaimana dituturkan al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Umar memiliki ide memperluas Masjidilharam karena semakin bertambahnya penduduk kota Makkah. Namun demi melancarkan idenya tersebut harus menggusur tanah warga.

Umar sebagai pemimpin adil kemudian membicarakannya dengan warga. Dalam prosesnya ada sebagian warga Makkah yang memprotes ide Umar menggusur bangunan. Umar tetap menggusur bangunan warga yang menolak demi kepentingan umum namun dengan menawarkan ganti rugi yang setimpal hingga akhirnya menerima kebijakannya.

Mahbub menambahkan ada cara yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menentukan ganti rugi. Mereka tidak boleh sewenang-wenang. Menurut Mahbub musyawarah adalah cara yang harus dilakukan agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.

Pemerintah, lanjut Mahbub, tetap harus berhati-hati dalam melakukan penggusuran dan ganti rugi. Pemerintah harus memperhatikan rasa keadilan yang sama-sama menguntungkan. Dan mereka juga perlu memperhatikan bagaimana masyarakat yang terdampak hidupnya tetap stabil pasca penggusuran.

Tak hanya jalan Tol yang dibangun oleh pemerintah di era Jokowi. Infrastruktur lainnya seperti kereta cepat yang memakan tanah untuk pembangunan stasiun dan rel kereta api juga harus menggusur tanah warga. Selain itu ada pula bandara dan bendungan. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement