Ahad 14 Jan 2024 20:32 WIB

Analisa Pakar Hukum: Pemakzulan Presiden tak Masuk Akal dan Inkonstitusional

Proses pemakzulan dapat berlangsung lebih dari sebulan kalau pun dilakukan

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Gita Amanda
Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy.
Foto: Dok Pribadi
Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy menanggapi isu pemakzulan Presiden Joko Widodo dengan adanya gerakan petisi 100. Rizaldy menilai hal tersebut tidak masuk akal dan cenderung inkonstitusional. 

Rizaldy menyebut ada tiga lembaga yang berperan untuk memakzulkan seorang Presiden, yaitu MPR, DPR dan MK. Di tahap awal, MK harus memutuskan pendapat DPR itu terbukti secara sah dan meyakinkan. Kemudian, DPR menyampaikan usulan pemakzulan itu kepada MPR. 

 

"Selanjutnya MPR akan memutuskan apakah Presiden akan dimakzulkan atau tidak. Proses ini sangat panjang dan sulit dilaksanakan," kata Rizaldy dalam keterangannya pada Ahad (14/1/2024). 

 

Rizaldy memperkirakan proses pemakzulan dapat berlangsung lebih dari sebulan kalau pun dilakukan. Sebab proses pemakzulan tergolong panjang dan memakan waktu. Prosesnya harus dimulai dari DPR yang mengeluarkan pernyataan pendapat bahwa Presiden telah melanggar Pasal 7B UUD 45, yakni melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden. 

 

"Tanpa uraian yang jelas hal apa dari Pasal 7B UUD NRI 1945 yang dilanggar Presiden, maka langkah pemakzulan adalah langkah inkonstitusional," ujar Rizaldy. 

 

Rizaldy menegaskan isu ini dapat mempengaruhi tahapan Pilpres 2024 yang telah berjalan. Tercatat, tinggal 30 hari lagi tersisa untuk memasuki hari pencoblosan pada 14 Februari 2024.

 

"Bukan hanya soal hukum apa yang dilanggar Presiden, tapi proses pemakzulan Presiden memerlukan waktu yang panjang dan proses yang rumit Presiden Jokowi masih kuat posisinya saat ini," ujar Rizaldy. 

 

Memang pernah ada proses pemakzulan Presiden di Indonesia seperti sidang istimewa digelar DPR RI untuk memakzulkan Gus Dur dari kursi presiden, meski tidak diikuti Fraksi PKB dan PDKB pada 23 Juli 2001. Sidang istimewa pun dilakukan untuk mengangkat Megawati sebagai Presiden ke-5 RI sekaligus memilih Hamzah Haz yang kala itu menjabat Ketum PPP sebagai Wakil Presiden melalui voting.

 

"Tapi ingat di zaman Presiden Gus Dur belum ada MK, sehingga proses saat ini sangat berbeda. Presiden harus ada tiga aspek sekaligus yang dilanggar dan dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai presiden yaitu aspek hukum, etik, dan konstitusi," ujar Rizaldy. 

 

Sebelumnya, wacana pemakzulan Presiden Jokowi muncul setelah Menko Polhukam Mahfud MD menerima kedatangan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (10/1/2024). Perwakilah Petisi 100 yang hadir adalah Marwan Batubara, Faizal Asegaf, Rahma Sarita, dan Letjen Mar (Purn) Suharto. 

 

Kepada tamunya, Mahfud menjelaskan urusan pemakzulan bukan diproses oleh Kemenko Polhukam, melainkan di DPR. Menurut cawapres nomor urut 2 tersebut, merujuk undang-undang (UU), ada lima syarat presiden bisa dimakzulkan.

 

"Ini semua tidak mudah, karena dia harus disampaikan ke DPR. DPR yang menuduh itu, mendakwa, melakukan impeach, impeach itu namanya pendakwaan, itu harus dilakukan minimal sepertiga anggota DPR dari 575, sepertiga berapa. Dari sepertiga ini harus dua pertiga hadir dalam sidang. Dari dua pertiga yang hadir harus dua pertiga setuju untuk pemakzulan," ucap Mahfud.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement