REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan barang Indonesia pada Desember 2023 kembali surplus. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini mengatakan, surplus neraca perdagangan pada Desember 2023 mencapai 2,30 miliar dolar AS atau naik 0,90 miliar dolar AS secara bulanan.
"Dengan demikian neraca perdagangan Indonesia telah mencapai surplus selama 44 bulan berturut-turut," kata Pudji dalam konferensi pers, Senin (15/1/2024).
Pudji menjelaskan, nilai ekspor Indonesia pada Desember 2023 mencapai 22,41 miliar dolar AS atau naik 1,89 persen dibandingkan November 2023. Jika dibandingkan Desember 2022 nilai ekspor tersebut turun 5,76 persen.
Sementara itu, nilai impor Indonesia pada Desember 2023 mencapai 19,11 miliar dolar AS. "Angka ini turun 2,45 persen dibandingkan November 2023 dan turun 3,81 persen dibandingkan Desember 2022," jelas Pudji.
Dia menambahkan, surplus Desember 2023 meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hanya saja surplus tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun lalu.
Pudji menyebut, surplus neraca perdagangan Desember 2023 lebih ditopang oleh surplus pada komoditas nonmigas yaitu sebesar 5,2 miliar dolar AS. "Dengan komoditas penyumbang surplus utamanya adalah bahan bakar mineral, kemudian lemak dan minyak hewan atau nabati, besi dan baja," ungkap Pudji.
Secara kumulatif hingga Desember 2023, total surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai 36,93 miliar dolar AS. Angka tersebut lebih rendah sekitar 17,52 miliar dolar AS atau 33,46 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah juga sebelumnya memproyeksikan neraca perdagangan pada kuartal IV 2023 masih mengalami surplus. "Ini ditopang oleh tingginya harga komoditas," kata Piter kepada Republika, Senin (15/1/2024).
Piter mengungkapkan harga komoditas sudah jauh turun dari harga tertingginya pada 2021. Meskipun begitu, Piter menegaskan harga komoditas masih lebih tinggi dibandingkan 2018-2019.
"Dengan harga komoditas yang masih tinggi, nilai ekspor Indonesia masih lebih besar daripada nilai impor. Salah Satu faktor pendorongnya adalah keberhasilan hilirisasi nikel," tutur Piter.