REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Mutmainnah memberikan komentar terkait peristiwa perkelahian dengan menggunakan senjata tajam atau carok yang menewaskan empat warga Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Mutmainnah menyatakan, carok biasanya dilatari konflik yang menurut para pelaku yang terlibat menyangkut harga diri.
"Semacam ketidakpercayaan terhadap aparat, bahwa ini bisa diselesaikan dengan adil. Karena paling kalau ditahan berapa lama? Gak sampai setahun itu sudah lepas. Padahal kan ini adalah konflik yang menurut mereka itu menyangkut harga diri," kata Mutmainnah kepada Republika, Senin (15/1/2024).
Mutmainnah berpendapat, carok merupakan bentuk institusionalisasi kekerasan. Di mana carok dianggap masyarakat Madura, khususnya di wilayah Madura Barat, sebagai cara untuk menyelesaikan masalah menggunakan kekerasan. Mereka yang terlibat, kata Mutmainnah, sudah menata dari awal siapa yang akan melakukan carok, termasuk dampak yang akan timbul.
"Dan kalau yang melakukan carok ini meninggal siapa yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga yang ditinggalkan, siapa yang akan masuk penjara apabila menang, dan seterusnya. Termasuk apa alat yang akan digunakan," ujarnya.
Selain tertata, lanjut Mutmainnah, kadang kala pihak keamanan pun sudah tahu akan terjadinya carok. Tapi aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak, dan biasanya hanya bisa melerai saja.
"Tidak bisa berbuat apa-apa apabila sudah terjadi kejadian seperti itu. Paling menahan untuk tidak ada lanjutannya. Karena kan nanti ini semacam tujuh turunan. Jadi setelah ini akan dilihat siapa yang meninggal. Kemudian anak cucunya diceritakan misalnya kakekmu meninggal disabet si ini," ucapnya.