Rabu 17 Jan 2024 17:00 WIB

Diundur, BI: Suku Bunga The Fed Turun Tiga Kali Mulai Semester II 2024

Siklus kenaikan suku bunga kebijakan moneter negara maju diperkirakan telah berakhir.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Tangkapan layar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Foto: Tangkapan Layar
Tangkapan layar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memproyeksikan kebijakan The Fed yang akan menurunkan suku bunganya baru akan terjadi pada semester II 2024. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan proyeksi tersebut mengalami perubahan dari perkiraan BI sebelumya. 

"Proyeksi kami sebelumnya dua kali, dan bacaan kami terakhir menjadi tiga kali sebanyak 75 basis poin," kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Januari 2024, Rabu (17/1/2024). 

Baca Juga

Perry menjelaskan, proyeksi tersebut bersadarkan assesment ekonomi, kondisi tenaga kerja, dan inflasi Amerika Serikat. Selain itu juga berdasarkan pengamatan dari pernyataan resmi FOMC.

Dia menambahkan, BI juga melihat pasar yang fokus dalam mengantisipasi Fed Funds Rate (FFR) yang kemungkinan bisa turun lebih cepat pada kuartal II 2024. Bahkan, Perry menyebut pasar memproyeksikan tingkat penurunan suku bunga The Fed bisa lebih tinggi berkisar empat kali hingga satu persen atau lebih tinggi. 

Meskipun begitu, Perry menegaskan dalam baseline skenario BI, suku bunga The Fed baru akan turun pada semester II 2024. "FFR baru mulai akan turun jumlahnya tiga kali sampai 75 bps," ucap Perry. 

Siklus kenaikan suku bunga kebijakan moneter negara maju, termasuk FFR diperkirakan telah berakhir meskipun masih bertahan tinggi pada semester I 2024. Perry menjelaskan, pertumbuhan ekonomi dunia melambat dengan ketidakpastian pasar keuangan yang mereda.

"Ekonomi global diprakirakan tumbuh sebesar tiga persen pada 2023 dan melambat menjadi 2,8 persen pada 2024," ujar Perry. 

Ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India tetap kuat didukung konsumsi rumah tangga dan investasi. Sementara itu, ekonomi China melambat seiring dengan tetap lemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi sebagai dampak lanjutan dari pelemahan kinerja sektor properti, serta terbatasnya stimulus fiskal. Penurunan inflasi di negara maju, termasuk AS, berlanjut, meski masih berada di atas sasaran, sementara inflasi China menurun dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat.  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement