Rabu 17 Jan 2024 20:15 WIB

Temuan Riset: Sampah di Enam Wilayah Didominasi Gelas Air Mineral

Sampah kemasan plastik produk konsumen lebih makan tempat dan volumenya selalu besar.

Red: Erik Purnama Putra
Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) melaksanakan Sensus Sampah Plastik di 64 titik di 28 kabupaten/kota di 13 provinsi di Indonesia.
Foto: Dok. BRUIN
Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) melaksanakan Sensus Sampah Plastik di 64 titik di 28 kabupaten/kota di 13 provinsi di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Galon air mineral kerap jadi sasaran kampanye negatif dan dicap sebagai beban lingkungan. Hal itu lantaran wadah plastiknya hanya sekali pakai dan ukurannya juga jumbo ketimbang kemasan plastik air mineral lainnya. 

Riset terbaru Net Zero Waste Management Consortium yang dipublikasikan pada 22 November 2023, menenukan fakta sebaliknya. Dari investigasi audit sampah di enam wilayah, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda, dan Bali, tim peneliti lapangan tidak mendapati adanya sampah galon di tempat pembuangan akhir sampah di enam kota tersebut. Tim malah menemukan sampah plastik air mineral kemasan gelas sebagai salah satu biang sampah terbesar di enam kota. 

Dalam sebuah laporan bertajuk 'Potret Sampah 6 Kota', konsorsium riset berbasis Jakarta itu menyebutkan sampah gelas plastik sejumlah brand minuman ternama ditemukan dalam volume yang besar di banyak site. Di antaranya, di bak atau tong sampah, tempat pembuangan sementara (TPS), truk sampah, tempat pembuangan akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan banyak lagi. 

Pada daftar 10 besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan, laporan riset menyebut porsi terbesar (59.300 buah) ada pada serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi. Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957 buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus mi instan (37.548).

Empat peringkat setelahnya adalah sampah plastik empat brand minuman populer. "Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut," ucap lead researcher Net Zero, Ahmad Syafrudin dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (17/1/2024).

"Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik, seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar, mau itu gerobak pemulung, TPS, truk sampah, TPA, pinggir sungai dan sebagainya," ucap Ahmad menambahkan.

Menurut Ahmad, hasil temuan riset mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum efektif. Dalam skema extended producer responsibility (EPR), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk. 

Sampah botol produk minuman, seluruhnya menggunakan kemasan plastik polietilena terefatalat, sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka. Masalahnya, kata Ahmad, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema circular eeconomy (CE), belum berjalan efektif di semua kota. 

"Kami mendapati bank sampai di banyak kota belum efektif menyerap sampah dengan residual value tinggi sekali pun, karena sebagian besar masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sisanya dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan, bahkan dibakar (open burning)," kata Ahmad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement