Rabu 17 Jan 2024 21:34 WIB

Perubahan Iklim Jadi Ancaman Besar Bagi Hak Asasi Manusia

Masyarakat miskin paling rentan terkena dampak perubahan iklim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Perubahan iklim adalah ancaman terbesar terhadap hak asasi manusia di abad ke-21.
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim adalah ancaman terbesar terhadap hak asasi manusia di abad ke-21.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah melewati tahun terpanas dalam catatan sejarah, bahaya perubahan iklim semakin dipahami, termasuk oleh dunia usaha dan masyarakat luas. Yang kurang dipahami adalah hubungan antara memerangi krisis iklim dan mendukung hak-hak dasar dan kebebasan.

Mary Robinson, mantan Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, mengungkapkan bahwa perubahan iklim adalah ancaman terbesar terhadap hak asasi manusia di abad ke-21. Cuaca ekstrem, disrupsi dan pergolakan, serta konflik atas sumber daya menghalangi orang-orang di seluruh dunia untuk menjalani kehidupan yang aman dan sehat. Sayangnya, masyarakat yang paling miskin dan paling rentan adalah yang paling terkena dampaknya.

Baca Juga

“Kita membutuhkan respons kolektif terhadap perubahan iklim yang berlandaskan keadilan, kasih sayang, dan kewajaran. Saat kita memasuki salah satu periode transformasi sosial dan ekonomi yang paling besar dalam sejarah manusia, kita harus melindungi kebebasan yang paling mendasar,” kata Paul Polman selaku wakil ketua United Nations Global Compact seperti dilansir Reuters, Rabu (17/1/2024).

Terlepas dari kekurangannya, dikatakan Paul, COP28 bulan lalu di Dubai setidaknya memberikan fokus yang lebih besar pada keadilan iklim. Secara keseluruhan, perundingan tersebut mencapai hasil yang lebih baik daripada yang diperkirakan banyak pihak. Namun, kemampuan Uni Emirat Arab untuk memimpin aksi yang berani dibatasi oleh hubungan mereka dengan industri minyak, termasuk catatan yang meragukan dalam hal hak asasi manusia. Masalah yang sama juga tampaknya akan dihadapi selama COP29, di mana Azerbaijan telah ditunjuk sebagai tuan rumah.

Minyak dan gas telah menyumbang sekitar 90 persen dari pendapatan ekspor Azerbaijan, dan pemerintah secara terbuka berupaya meningkatkan produksi gas. Pada saat yang sama, masyarakat di Azerbaijan juga banyak yang mengalami penyiksaan, penahanan sewenang-wenang dan tidak adanya peradilan yang independen, sementara pemerintah terus menahan lebih dari 100 tahanan politik.

“Kemudian media independen juga dibungkam, dengan enam wartawan baru-baru ini dipenjara. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah ribuan jurnalis independen akan bersedia mengambil risiko untuk meliput dan mungkin mengkritik COP29 di Azerbaijan?” kata Paul.

Tahun lalu, pasukan Azerbaijan mengusir lebih dari 100 ribu warga Armenia dari wilayah yang disengketakan di Nagorno-Karabakh setelah pengepungan yang berkepanjangan. Organisasi-organisasi hak asasi manusia menggambarkan tindakan ini sebagai genosida. Menghargai perilaku seperti itu dengan mengizinkan negara tersebut menjadi tuan rumah COP29 akan mengirimkan pesan yang salah kepada komunitas internasional.

“Dalam kondisi saat ini, sulit untuk melihat bagaimana Azerbaijan akan bersedia atau mampu menyatukan dunia dalam aksi iklim yang mendesak. Bagaimana Anda dapat mendorong orang lain untuk mencapai ambisi yang lebih tinggi, sambil terus membangun ekonomi dengan bahan bakar fosil? Bagaimana Anda dapat mengumpulkan para pemain yang berbeda dalam semangat inklusi dan kompromi, sementara dengan keras menekan perbedaan pendapat?” ungkap Paul.

Dalam kondisi seperti ini, Paul kemudian memberikan beberapa rekomendasi untuk membuat COP29 berjalan dengan lebih ideal. Pertama, kata Paul, PBB dapat mengakhiri sikap ambivalensinya terhadap Azerbaijan dengan secara eksplisit mengakui keprihatinan atas catatan negara itu mengenai iklim dan hak asasi manusia. Setelah itu, PBB dapat berkomitmen untuk melakukan proses seleksi yang lebih transparan dan kuat.

“Ini bukan tentang mengejar kesempurnaan atau menetapkan standar yang terlalu tinggi. Namun, demi kredibilitas dan efektivitasnya, COP di masa depan harus diselenggarakan oleh negara-negara yang tulus dalam melakukan dekarbonisasi, dan berkomitmen terhadap kebebasan yang menjadi dasar keberhasilan transisi. Kriteria seleksi yang lebih tajam harus diterapkan,” kata Paul.

Kedua, ia menyarankan untuk memberi lebih banyak tekanan terhadap bisnis Azerbaijan. Menurut dia, intervensi negara-negara global terhadap bisnis dapat menjadi kesempatan untuk memperbaiki keadaan di COP29. Lalu ketiga, kata Paul, para pemimpin Azerbaijan bisa menerima masukan dari pengkritiknya dan membuat rencana untuk beralih dari minyak dan gas.

Presiden Ilham Aliyev dapat memulai sebuah program reformasi untuk membawa negaranya lebih dekat ke standar hak asasi manusia internasional, dimulai dengan mengindahkan seruan internasional untuk membebaskan para tahanan politik Armenia yang saat ini ditahan secara ilegal, yang paling terkenal adalah pengusaha terkemuka dan aktivis kemanusiaan Ruben Vardanyan.

“Tidak ada pemerintah, bahkan pemerintah di Azerbaijan sekalipun, yang kebal terhadap pengaruh komunitas internasional yang bersatu, atau terhadap bisnis dan investor yang siap untuk mengambil sikap. Ujian kita sekarang adalah menggunakan pengaruh ini secara efektif, untuk mempertahankan kebebasan manusia dan menjaga upaya iklim internasional kita tetap berada di jalurnya,” Jelas Paul.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement