REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto menyebut, gaji panglima TNI kalah besar jika dibandingkan dengan gaji direktur perusahaan swasta. Hal itu ia sampaikan ketika mengutarakan solusi memberantas korupsi dalam acara Paku Integritas yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Prabowo awalnya menjelaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK menggunakan pendekatan pendidikan, pencegahan, dan penindakan sudah tepat. Namun, kata dia, perlu ditambah satu pendekatan lagi, yakni pendekatan sistemik.
Pendekatan sistemik itu diwujudkan dengan meningkatkan gaji pejabat negara, terutama mereka yang mengelola anggaran negara dalam jumlah besar, terlebih dahulu. Saat ini, kata dia, gaji pejabat negara yang mengelola anggaran triliun rupiah masih rendah.
"Sekarang direksi perusahaan swasta, bahkan BUMN, gajinya jauh lebih besar dari Panglima TNI, dirjen-dirjen, menteri-menteri yang memegang anggaran negara triliunan," kata Menteri Pertahanan itu di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Rabu (17/1/2024) malam.
Sebagai catatan, penghasilan panglima TNI sekitar Rp 49 juta per bulan. Penghasilan sebesar itu terdiri atas gaji pokok dan tunjangan.
Menurut mantan Danjen Kopassus TNI AD itu, keuangan negara sanggup untuk membiayai peningkatan gaji para pejabat. Setelah kesejahteraan mereka ditingkatkan, para pejabat itu diyakini tidak akan berniat untuk melakukan korupsi.
Apabila masih ada yang melakukan korupsi, lanjut dia, maka penindakan harus dilakukan sekeras-kerasnya. Selain penindakan, bisa diterapkan pula sistem pembuktian terbalik kepada para pejabat.
"Bila perlu pembuktian terbalik. Tidak perlu kita tunggu delik pengaduan, tetapi pejabat yang mau menjabat jabatan penting harus transparan dan bisa dilihat," kata Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Secara garis besar, sistem pembuktian terbalik berarti seseorang harus membuktikan bahwa harta yang dimilikinya berasal dari sumber-sumber yang sah. Apabila tidak bisa membuktikan, maka si pejabat itu patut diduga telah melakukan korupsi.
Prabowo juga mendukung pemberian sanksi berat kepada pejabat yang tak jujur dalam membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). "Saya sangat dukung LHKPN untuk ditegakkan dan diberi sanksi manakala LHKPN itu tidak jujur. Semua kekayaan harus dilaporkan!" ujarnya.
Sebelum Prabowo berbicara, Ketua KPK Nawawi Pomolango lebih dulu menyampaikan bahwa ada empat hambatan yang dihadapi dalam memberantas korupsi. Salah satunya soal LHKPN.
Nawawi menjelaskan, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah landasan KPK memeriksa LHKPN. Namun, beleid tersebut tidak mengatur sanksi yang tegas kepada pejabat yang LHKPN-nya tidak mencantumkan seluruh hartanya.
"Akibatnya, saat ini kepatuhan penyampaian LHKPN secara lengkap diabaikan oleh sekitar 10 ribu dari 371 ribu penyelenggara negara," kata Nawawi.
Bahkan, lanjut dia, pejabat yang LHKPN-nya tidak lengkap ternyata tetap diangkat untuk mengisi jabatan "pembantu presiden ataupun jabatan lainnya". Karena itu, Nawawi meminta para capres dan cawapres yang nantinya terpilih untuk memperkuat peran LHKPN.
"KPK meminta komitmen nyata dari calon presiden dan wakil presiden ketika nanti terpilih untuk menguatkan peran LHKPN dengan pemberian sanksi berupa pemberhentian dari jabatan publik pada pembantu presiden atau pimpinan instansi yang lembaganya tidak patuh terhadap kewajiban penyampaian LHKPN secara lengkap," ujarnya.
Lebih lanjut, Nawawi meminta presiden dan wakil presiden terpilih nantinya untuk menerapkan kebijakan pemberhentian terhadap pejabat yang ketahuan menyembunyikan hartanya dari LHKPN. Dia juga meminta agar hasil pemeriksaan LHKPN yang dilakukan KPK dijadikan rujukan untuk mempromosikan atau mengangkat pejabat publik.