Kamis 18 Jan 2024 11:42 WIB

Sikap AS pada Houthi Membuat Nasib Warga Sipil Yaman Dipertanyakan

Banyak yang mengkhawatirkan nasib masyarakat Yaman.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Citra satelit pada hari Jumat 12 januari 2024 yang disediakan oleh Maxar Technologies menunjukkan kerusakan akibat serangan udara di situs radar di Bandara Sanaa di Yaman. Pemberontak Houthi di Yaman telah bersumpah akan melakukan pembalasan sengit atas serangan Amerika dan Inggris terhadap mereka, sehingga semakin meningkatkan prospek konflik yang lebih luas di wilayah yang sudah dilanda perang Israel di Gaza
Foto: Maxar Technologies via AP
Citra satelit pada hari Jumat 12 januari 2024 yang disediakan oleh Maxar Technologies menunjukkan kerusakan akibat serangan udara di situs radar di Bandara Sanaa di Yaman. Pemberontak Houthi di Yaman telah bersumpah akan melakukan pembalasan sengit atas serangan Amerika dan Inggris terhadap mereka, sehingga semakin meningkatkan prospek konflik yang lebih luas di wilayah yang sudah dilanda perang Israel di Gaza

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, memasukkan kembali Houthi ke dalam daftar organisasi teroris. Langkah ini diambil seusai kelompok yang menguasai banyak wilayah di Yaman itu menyerang kapal-kapal komersial di Laut Merah, sebagai solidaritas pada rakyat Palestina yang sedang dibombardir Israel.

Peneliti dan pengamat politik mengungkapkan dampak negatif keputusan itu pada rakyat sipil Yaman. Banyak yang mempertanyakan, apakah keputusan tersebut dapat mendorong Houthi menghentikan serangannya di Laut Merah.

Baca Juga

"Saya sangat khawatir dengan konsekuensi mengerikan terhadap rakyat biasa di Yaman," kata peneliti dari Arab Center Washington DC yang sebelumnya bekerja peneliti di Yaman untuk Human Rights Watch, Afrah Nasser seperti dikutip Aljazirah, Kamis (18/1/2024).

Kurang dari satu bulan setelah menjabat Biden mengeluarkan Houthi dari daftar "Organisasi Teroris yang Ditetapkan Khusus" yang diberlakukan mantan Presiden Donald Trump. Saat itu Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken langkah tersebut sebagai "pengakuan buruknya situasi kemanusiaan di Yaman."