Jumat 19 Jan 2024 16:19 WIB

AS-Israel Beda Prinsip Soal Skenario Pascaperang Gaza 

Netanyahu berjanji akan melanjutkan perang di Gaza.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Setyanavidita livicansera
 Asap mengepul di atas desa Odaisseh di Lebanon selatan setelah serangan Israel, terlihat dari sisi perbatasan Israel, dekat Kiryat Shmons, Israel, (18/1/2024).
Foto: EPA-EFE/ATEF SAFADI
Asap mengepul di atas desa Odaisseh di Lebanon selatan setelah serangan Israel, terlihat dari sisi perbatasan Israel, dekat Kiryat Shmons, Israel, (18/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) dan Israel terlibat perselisihan tentang skenario pascaberakhirnya perang di Jalur Gaza. Washington berpendapat, tidak ada cara untuk menyelesaikan masalah Israel tanpa pembentukan negara Palestina.

Sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu masih menentang gagasan tersebut. Gagasan tentang pembentukan negara Palestina sebagai cara untuk menyelesaikan masalah keamanan Israel kembali disampaikan Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matt Miller dalam pengarahan pers pada Kamis (18/1/2024).

Baca Juga

Dia mengatakan, Israel memiliki peluang karena negara-negara di kawasan siap memberikan jaminan kepada Israel. “Tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka panjang mereka (Israel, Red) untuk memberikan keamanan abadi, serta tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka pendek dalam membangun kembali Gaza dan membangun pemerintahan di Gaza serta memberikan keamanan bagi Gaza tanpa pembentukan negara Palestina,” kata Miller, dikutip laman Al Arabiya.

Dalam beberapa pekan terakhir, Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah meminta Israel mengendurkan serangannya ke Gaza. Pemerintahan Biden pun menyampaikan bahwa negara Palestina harus menjadi bagian skenario pascaperang.

Sementara itu, dalam konferensi pers yang disiarkan secara nasional, Benjamin Netanyahu berjanji akan melanjutkan perang di Gaza hingga Hamas dikalahkan. Netanyahu pun menolak gagasan negara Palestina.

Dia mengklaim telah menyampaikan penolakannya kepada para pejabat AS. “Dalam pengaturan apa pun di masa depan, Israel memerlukan kontrol keamanan atas seluruh wilayah, di sebelah barat Yordania. Ini bertentangan dengan gagasan kedaulatan (untuk Palestina). Apa yang bisa Anda lakukan?” ucap Netanyahu.

“Perdana menteri harus mampu untuk mengatakan tidak kepada teman-teman kita,” tambah Netanyahu. Sementara itu Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, pembicaraan yang melibatkan Amerika Serikat (AS), Israel, dan negara-negara Arab tanpa partisipasi Palestina tidak akan menyelesaikan perang yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.

“Semua kontak ini tidak menyiratkan dialog langsung antara warga Palestina dan Israel, namun berasumsi bahwa orang-orang dewasa akan sepakat tentang bagaimana warga Palestina akan terus hidup, dan kemudian menyampaikannya kepada mereka. Ini tidak akan berhasil,” kata Lavrov saat menyampaikan hasil diplomasi Rusia sepanjang 2023, Kamis, (18/1/2024) lalu.

Lavrov mengatakan, komentar Presiden AS Joe Biden dan negara-negara Eropa mengenai perlunya bergerak maju dalam pembentukan negara Palestina menunjukkan bahwa mereka memahami sangat sulit untuk menenangkan situasi tanpa melakukan hal tersebut. “Tetapi memulai sebuah gerakan saja tidak cukup. Kita perlu berkumpul dan menciptakan, kita perlu membawa Palestina dan Israel ke meja perundingan,” katanya.

Dia juga mengatakan bahwa tidak mungkin bagi AS untuk “berbisik dan bernegosiasi dengan seseorang”, kemudian mencoba memutuskan bagi rakyat Palestina seperti apa Palestina nantinya. “Rakyat Palestina sendiri yang harus memutuskan. Dan apa yang dilakukan AS saat ini, mencoba menuliskan segalanya untuk mereka (Palestina) dan memberikan kemudahan bagi mereka (AS), adalah manifestasi dari praktik neo-kolonial yang sama,” tambahnya.

Saat ini perang Israel-Hamas masih berlangsung di Gaza. Lebih dari 24.700 warga Gaza sudah terbunuh sejak Israel meluncurkan agresinya pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar dari korban meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Sementara korban luka sudah melampaui 61.500 orang.

Menurut PBB, 85 persen penduduk Gaza telah menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan dan rumah sakit, rusak atau hancur. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement