REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Korea Selatan (AS) Korsel mendesak Dewan Keamanan PBB "untuk berhenti bungkam" atas eskalasi uji coba rudal dan ancaman Korea Utara (Korut). Hal ini disampaikan usai dewan menggelar pertemuan tertutup mengenai uji coba rudal balistik pertama Korut pada tahun 2024 akhir pekan lalu. "Ini pertanyaan besar," kata Duta Besar Korsel untuk PBB, Hwang Joonkook, Jumat (19/1/2024).
Saat ini Korsel anggota Dewan Keamanan PBB selama dua tahun. Dewan Keamanan memberlakukan sanksi setelah Korut menggelar uji coba nuklir tahun 2006 dan memperketatnya beberapa tahun terakhir dengan 10 resolusi untuk memangkas pendanaan dan menahan program rudal balistik dan nuklir Korut.
Namun sejauh ini langkah-langkah tersebut tidak berhasil. Resolusi sanksi terakhir Dewan Keamanan PBB pada Korut diadopsi pada 2017. Cina dan Rusia memveto resolusi yang disponsori Amerika Serikat (AS) pada Mei 2022 lalu.
Resolusi itu memberlakukan sanksi baru pada Korut atas peluncuran rudal balistik antar-benua. Sejak itu dua pemilik hak veto Dewan Keamanan PBB menghalangi setiap tindakan terhadap Korut termasuk pernyataan ke media.
Pada 2023 Korut meningkatkan uji coba senjata yang melanggar sanksi PBB termasuk lima rudal balistik antar-benua, lebih dari 25 rudal balistik dan tiga satelit mata-mata. Serangkaian ancaman dari Pemimpin Korut Kim Jong-un juga meningkatkan ketegangan di kawasan.
Pada Senin (15/1/2024) lalu Kim mengatakan Korut harus mengabaikan komitmen reunifikasi dengan Korsel. Ia juga memerintahkan penulisan ulang konstitusi dengan menghapus gagasan berbagi negara antara negara yang terpecah karena peang.
Ia mengatakan Korsel "antek kelas kakap" Amerika yang terobsesi dengan konfrontasi. Kim juga kembali mengancam Korut akan menumpas Korsel dengan nuklirnya bila diprovokasi.
Sebelum pertemuan Dewan PBB pada Kamis (18/1/2024) kemarin Wakil Duta Besar AS untuk PBB Robert Wood mengatakan provokasi Kim "sangat mengkhawatirkan." Ia mengatakan 15 negara anggota Dewan Keamanan harus mengingat pelanggaran sanksi yang dilakukan Korut dan kewajibannya pada dewan. "Dan kami harus bersikeras mereka mematuhi kewajiban itu dan semua anggota Dewan Keamanan untuk menegaskan resolusi-resolusi itu."
Bertolak belakang Duta Besar Cina untuk PBB Zhan Jun meminta semua orang yang terlibat di Semenanjung Korea untuk tetap tenang dan menahan diri dari semua aksi yang dapat meningkatkan ketegangan. Dalam pesan yang jelas untuk AS dan Korsel, Zhang mengungkapkan saat perhatian dipusatkan pada Korut, "negara lain juga bertanggung jawab untuk menghindari ketegangan lebih lanjut."
Duta Besar Prancis untuk PBB Nicolas De Riviere mengatakan tindakan Korut "semakin buruk" dengan peluncuran rudal balistik yang semakin rutin, berlanjutnya pengayaan uranium dan peningkatan program nuklir. "Semua orang fokus pada peluncuran rudal, tapi saya pikir ancaman terbesarnya adalah program nuklir mereka yang terus tumbuh lagi dan lagi," kata De Riviere.
Senada, Duta Besar Korsel Hwang mengatakan 15 negara anggota Dewan Keamanan prihatin dengan retorika dan tindakan Korut "yang semakin serius." Kini yang masih menjadi pertanyaan bagaimana memecah kebungkaman Dewan Keamanan. "Kami akan membahas dan memikirkannya, dan bagaimana langkah selanjutnya, itu pertanyaan besar," kata Hwang.
Hwang menyebut keputusan Kim mengabaikan reunifikasi sebagai "perubahan besar" dalam retorika, aksi dan kebijakan Korut. "Kebijakan nuklir sangat, sangat mengkhawatirkan," katanya.