Sabtu 20 Jan 2024 09:16 WIB

Pajak Naik, Pengusaha Hiburan Malam Bisa Apa?

Judicial review bisa diajukan bagi pengusaha hiburan malam yang terdampak.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Lida Puspaningtyas
Pengunjung menyanyi di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024). Pemerintah menetapkan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen yang diatur dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tarif PBJT tersebut dikhususkan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung menyanyi di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024). Pemerintah menetapkan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen yang diatur dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tarif PBJT tersebut dikhususkan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah pusat saat ini sudah menetapkan batas tarif baru untuk pajak hiburan tertentu yang saat ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Usaha hiburan yang terdampak tarif baru pajak yaitu jasa hiburan karaoke, diskotek, kelab malam, bar, dan spa.

Pengamat pajak dari Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono mengungkapkan jika pengusaha di sektor tersebut keberatan maka bisa melakukan sejumlah hal, salah satunya judicial review.

Baca Juga

Judicial review sangat mungkin diajukan oleh pengusaha jasa hiburan tertentu yang terdampak tarif pajak 40-75 persen,” kata Prianto kepada Republika, Jumat (19/1/2024).

Pengujian yudisial merupakan suatu proses ketika tindakan eksekutif dan legislatif ditinjau oleh badan yudikatif. Dia menjelaskan para pengusaha yang terdampak bisa memastikannya melalui proses judicial review.

“Mereka harus memastikan Pasal UUD 1945 mana yang dianggap bertentangan dengan UU HKPD yang mengatur tarif 40-7,5 persen,” ujar Prianto.

Opsi lain juga yang bisa dilakukan yakni pengajuan insentif pajak. Prianto menuturkan implementasi insentif pajak daerah saat ini tergantung di peraturan daerah.

“Saat ini boleh tentang implementasi pajak daerah tersebut ada di pemda bupati, walikota, dan DPRD,” ujar Prianto.

Prianto menambahkan, kebijakan batas tarif pajak baru untuk sejumlah usaha hiburan tersebut dapat dikatakan tepat atau tidak tergantung pada sudut pandang pembuat kebijakan dan pengusaha. Dari sisi policymaker, kebijakan tersebut sudah tepat.

“Makanya, DPR dan pemerintah pusat sepakat untuk mengatur tarif berbeda di jasa hiburan tertentu yang digolongkan mewah atau luxury,” ucap Prianto.

Dari sisi pelaku usaha, Prianto menilai pasti pilihannya kebijakan tersebut tidak tetap. Prianto mengatakan, pelaku usaha pasti khawatir tarif tinggi tersebut menggerus konsumsi masyarakat untuk jasa hiburan tertentu.

Dengan adanya ketetapan batas baru untuk tarif pajak hiburan tertentu tersebut, saat ini pemerintah daerah harus menetapkan pajak hiburan tertentu sesuai dengan kaidah batu. Dalam aturan tersebut disebutkan, pemerintah daerah diberikan waktu dia tahun sejak diundangkan untuk menyesuaikan peraturan daerahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement