REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Yordania Bisher al Khasawaneh pada Jumat, (19/1/2024) mendesak negara-negara di dunia melakukan diplomasi internasional tingkat tinggi untuk menjamin agar gencatan senjata antara Israel dan Hamas dapat disepakati. Ia secara khusus mendesak Amerika Serikat (AS) dan negara-negara berpengaruh lainnya untuk memanfaatkan pengaruh mereka guna mengakhiri kekerasan di Gaza.
Dalam sebuah acara di London School of Economics, al Khasawaneh menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan konflik dan ketidakstabilan di kawasan adalah menerapkan proses politik yang mengarah pada solusi dua negara, di mana negara Palestina dapat hidup berdampingan dengan Israel. “Dunia tidak bisa menoleransi kebijakan apartheid saat ini. Jika Anda tidak menerapkan solusi dua negara, apa alternatifnya? Perang terus-menerus? Solusi dua negara adalah satu-satunya cara yang menjamin keamanan Israel juga,” ucap dia.
“Kepemimpinan diperlukan dari teman-teman Amerika kami dan mitra Amerika kami, danpdari berbagai negara di dunia, yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di Israel untuk mengakhiri pembantaian ini,” kata al Khasawaneh. Dia juga menyatakan keprihatinan publik di negara-negara Barat tentang kekerasan dan bagaimana kekerasan itu dapat mempengaruhi sistem internasional yang didasarkan pada aturan, khususnya dalam memberikan bantuan ke wilayah Gaza yang hancur.
“Negara-negara kekuatan besar tidak hanya mempunyai tanggung jawab moral, tetapi juga kewajiban dalam konteks menjaga sistem internasional berbasis aturan dan memberitahu Pemerintah Israel saat ini bahwa ini perlu dihentikan,” tambah al Khasawaneh. Israel telah melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sejak serangan lintas batas oleh Hamas, yang diklaim telah menewaskan 1.200 orang di Israel.
Setidaknya 24.762 warga Palestina terbunuh, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan 62.108 orang terluka, menurut otoritas kesehatan Palestina. Serangan Israel di Jalur Gaza juga telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah krisis makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah kantong itu rusak atau hancur, menurut PBB.