Mungkin ini takdir lagu Berita Kepada Kawan karya Ebiet G Ade abadi. Lagu yang ditulis untuk merenungi bencana kawah beracun Sinila di kawasan pegunungan Dieng pada tahun 1979 terus terasa konstektual karena tiba-tiba disebut dalam dewat calon wakil presiden 2024 semalam.
Ebiet yang kala itu anak camat di daerah itu bertanya keras mengenaii kejadian bencana yang menimoa kampungnya. Ebiet merenung dalam kamar sempit di kostnya yang ada di bilangan Kampung Kadipaten Kulon Yogyakarta.
''Saya waktu itu kost di Yogyakarta. Hanya bisa baca di koran tentang kejadian di Sinila. Memikirkan ayah dan kampung saya itu. Dan saya tak bisa pulang lalu setelah itu saya ambil gitar dan menyanyikan lirik lagu yang saya tulis. Padahal kala itu saya baru belajar menulis lagu,'' kata Ebit dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.
Memang Lagu Berita Kepada Kawan yang ada di album Camelia II hits luar biasa. DI bus kota Jakarta lagu itu menjadi lagu wajib yang sealau diputar untuk menemani perjalanan penumpang. Majalah Tempo pun membuat laporan khusus dan menampilkan gambar Ebiet sebagai sampulnya sembari menamakan Ebiet sebagai penyanyi bertutur.
Lagu berita kepada kawan memang menyimpan dari kelaziman musik Indonesia saat itu yang penuh cinta platonis dan meratap-ratap (sampai sekarang). Selian lirik dan dentingan piano Dodo Zakaria yang yahud juga menjadi ciri khasnya.
Belum lagi gesekan lembut violis legendaris asal Cilacap, Suryati Supilin serta kemegahab orchestra aransemen yang pernha nyantiri di Gontor Billy J Budiarjo, Semua mengharu biro meski juga sederhana. Tak heran bila lagu ini menjadi salah satu lagu di 100 lagu Indonesia terbaik yang disematkan oleh Majalah Roling Stones Indonesia. Posisi peringkatnya ada deretan kedua.
Lagu Berita Kepada Kawan memang sekilas seperti sebuah lukisan dengan gaya 'Hindia Moi' (Indonesia Indah) peninggalan Belanda. Anak gembala yang terbiasa duduk di atas punggung kerbau tergambar jelas pada lagu itu. Hamparan sawah-ladang, gunung-bukit, hingga debur ombak di pantai terpancar dari lirik lagu itu.
Uniknya. lagu ini membawa kebaruan lain dalam musik Indonesia. Kala itu Ebiet dengan sengaja membawa-bawa nama Tuhan. Ini hal yang memang tidak lazim karena menyebut Tuhan dalam lagu pop kala itu masih sangat minim. Idiom ini sangat asing.
Tak hanya itu Ebiet membawa perenungan bernas. Mungkin terpengaruh lirik lagu 'Blowing in The Wind' pemusik peraih Nobel Bob Dylan yang membawa-bawa angin ketika memprotes penyerbuan tentara Ameriak Serikat di Vietnam, Ebiet membawa angin kepada rumput yang menggoyangkan helai daunnya. Maka dia pun membuat teka-teka yang tak pernah bisa dijawab yakni: bertanya kepada rumput yang bergoyang?
Frase 'bertanya kepada rumput yang bergoyang' semenjak lagu itu muncul terus lestari sampai sekarang. Bahkan tak hanya di dalam acara debat calon wakil presiden, malah semenjak dahulu sudah menjadi kalimat yang disitir dalam berbagai forum, bahkan hingga pengajian dan khotbah di masjid sekalipun. Berkat kalimat ini Ebiet yang jelas-jelas pada pengantar sampul perdananya 'Camelia I' menyatakan diri sebagai Muslim menjadi sosok pemusik yang selalu hadir di sepanjang zaman.
Namun untuk mengenang kehadiran Ebiet dalam balantika musik, ada baiknya dibaca mengenai kisah seorang temannya yang memberikan tumpangan menginap ketika Ebiet hendak memulai rekaman di Jackson Record. Sosok itu adalah Doddy Yudhistira Adam, Mantan Media Deveolpment Center The Habibie Center dan Pemimpin Umum Tabloid Musik 'Mumu'. Dody bercerita begini:
Malioboro Yogyakarta bagiku adalah bagian dari kehidupanku. Masa kecilku aku senang bila di ajak ibu atau mbah putri ke Malioboro, yang jelas pulangnya selalu bawa mainan dan beli sagu di toko Kawedar yang besoknya dimasak jadi bubur sagu kesukaanku.
Biasanya yang paling menyenangkan ketika ibuku ke toko Kimsin Kecil pasti ibu beli Audecologne 4711 untukku jatah sebulan untuk menghilangkan bau keringatku ketika sekolah. Di samping itu ibu juga suka membeli plat lagu-lagu dari Titiek Puspa atau Lilis Suryani di toko itu. Toko Kimsin saat itu toko penjual plat music satu-satunya di Yogya. Pada masa itu belum ada kasset.
Biasanya ibu juga mampir di toko batik Terang Bulan kulak dagangan. Di sini ibu lama memilih batik dan saya selalu di suguhin teh dan lemper oleh pemiliknya yang di panggil Bu Kudung. Bu Kudung bagiku memberikan gambaran ibu Jawa yang Islami dan pandai berdagang, khas wanita jawa!
Malioboro juga menjadi nafas kehidupanku ketika remaja mahasiswa. Hampir sebulan dua kali aku mengunjungi Yogyakarta dari Jakarta. Karena sejak tamat SMP tahun 1970 aku pindah ke Jakarta. Realita lagu Yogyakarta dari Kla Proyek terpancar dari lakuku di Malioboro th 1975-an. Aku waktu itu sering nongkrong di Malioboro malam hari main gitar sama para pengamen Malioboro menyanyikan lagu-lagu Rolling Stones.
Di Malioboro-lah para pengamen itu menyebutku artis ibukota. Di Malioboro juga aku kenal mas Ebiet G Ade sampai bersamanya ke Jakarta th 1978 mengantarkan mas Ebiet rekaman di Jakson Record. Lagu Ebiet pada Album perdananya, Camelia I, sangat unik. Syairnya dan melodinya mengalir khas para seniman Yogyakarta yang kala itu selalu nongkrong di Malioboro.
Lagu ini bercerita tentang obsesi Ebiet yang kala itu tinggal indekost di Kadipaten Kulon (dekat Kraton dan Pasar Ngasem) di rumah dengan nomor khas Jogkarta, KP.1/203.
Tak hanya Ebiet. pada tahun 1979 aku bersama Iyek (Achmad Albar ) show perdana Rock Never Die di Stadion Kridosono, malamnya kami nongkrong di Malioboro di lesehan Pancarasa di depan hotel Mutiara. Kami nyanyi-nyanyi bersama para pengamen Malioboro sampai pagi. Malam itu Malioboro menjadi panggung kedua bagi kami. Saat itu kami menginap di hotel Mutiara Malioboro, hotel legenda di Malioboro Yogyakarta, (yang akhirnya menjadi milik Istriku ).
Berbagai kenangan indah muncul di Malioboro demikian juga saat sudah jadi 'pejabat'. Pernah lesehan di depan hotel Garuda bersama Prof Emil Salim dan Prof Ichlasul Amal, Affan Gaffar dan berbagai tokoh lainnya. Saat selesai menjadi Ketua hari Pendidikan Nasional yang di Pusatkan di Yogyakarta th 1996 kami pun ber ramai-ramai lesehan di Malioboro bersama Prof Jimly Ashidiqqie, Arselan Harahap dan teman-teman lainnya dari Depdikbud. Kami pun di lukis pensil oleh para pelukis seniman Yogya.
Ketika aku SMP kelas 3 th 1970 di sudut Malioboro ada cafe Wijayakusuma namanya. Itu satu-satunya cafe dengan live musik saat itu, tepatnya di Teteg Tugu yang sekarang menjadi taman parkir Abubakar Ali. Hampir setiap hari minggu malam aku mengisi acara di Cafe tersebut bersama band Elpijis pimpinan mas Benny Sarimuljo dan biasa aku membawakan lagu-lagu Rolling Stones atau Bee Gees.
Master Ceremony di acara di Cafe Wijayakusuma adalah aktor dan tokoh teater Yogyakarta, Azwar AN. Biasanya bung Azwar melawak bersama teman-temannya disana. Dari Malioboro Wijayakusuma Cafe itu uga julukan melekat kepadaku sebagai Doddy Manfaces sebagai Jaggernya Indonesia yang akhirnya memperkenalkanku menjadi vocalis Utama Manfaces Rock Band di Jakarta.
Nah, dari bermusik pula yang mengakrabkanku bersama Deddy Stanzah, Mickey Jaguar ( Machelbech ), Gito Rollies, Silvia Sartje, Renny Djajusman, Bangkit Sanjaya, Totok Tewel dan lainnya. Masa mudaku di musik-lah yang memberikan kenangan terindah dalam hidupku.
Kenangan itu lahir dari Jalan Malioboro yang kini menjadi tempat tinggalku di hari tua. Ketika aku beranjak usia, kegemaranku dalam bermusic ku emplementasikan lewat media cetak bersama Tabloid Music MuMu ( th 1997-2003 ). Kala itu MuMu pernah mencapai oplaag 750 ribu exemplar.
Dan kini, Allah telah menentukan: Hai Doddy kembalilah kamu ke Malioboro di masa menunggu akhir panggilan Ku.Kini pun aku benar-benar tinggal di Malioboro Yogyakarta, setelah hidup lebih dari 40 tahun di Jakarta!