REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Islam adalah ajaran yang mengutamakan dan mendahulukan pelaksanaan dan pemenuhan kewajiban.
Barulah kemudian menerima dan mendapatkan haknya sebagai balasan dari amal perbuatannya tersebut. Dan, bukan sebaliknya.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl [16]: 97).
Setiap orang yang melaksanakan kewajiban, cepat atau lambat, baik langsung maupun tidak langsung, pasti akan mendapatkan haknya. Tetapi, tidak setiap orang yang menuntut hak dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik. Allah SWT berfirman yaitu QS an-Najm [53] ayat 39:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
Sebagai contoh, sebuah rumah tangga akan menjadi keluarga yang bahagia manakala pasangan suami istri melaksanakan kewajibannya masing-masing dengan baik dan bukan saling menuntut hak. Alquran surah an-Nisa [4] ayat 34 menggambarkan bahwa kewajiban suami dan istri itu ada dua.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
" Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."”
Kewajiban suami adalah mendidik, membimbing, mengayomi istri serta anaknya (qowwaamun), dan mencari nafkah untuk kepentingan keluarganya. Sedangkan kewajiban istri yang pertama adalah tunduk dan patuh kepada suaminya atas dasar kepatuhan dan ketundukan pada Allah SWT. Kewajiban kedua, menjaga diri dan kehormatannya serta kehormatan keluarganya.
Seorang pemimpin pun memiliki kewajiban untuk berlaku adil dan berpihak kepada masyarakat dan rakyatnya sehingga masyarakat terlindungi dan tersejahterakan dengan baik. Bukan sebaliknya, hidup dengan fasilitas yang berlebih-lebihan, tetapi tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Baca juga: Golongan yang Gemar Membaca Alquran, Tetapi Justru tidak Mendapat Syafaatnya
Kisah kepemimpinan para khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW dan juga Khalifah Umar bin Abdul Azis, mencerminkan bahwa mereka adalah pemimpin yang melaksanakan kewajiban secara maksimal. Mereka sama sekali tidak pernah menuntut haknya sehingga rakyatnya sangat tunduk dan patuh serta merasa bahagia dengan kepemimpinan mereka.
Di tengah-tengah keinginan yang kuat dari setiap orang untuk mendapatkan jabatan, upaya menyadarkan pada tugas dan tanggung jawab jauh lebih penting daripada membicarakan fasilitas-fasilitas tertentu, yang kadang kala tidak berkaitan secara langsung dengan pelaksanaan kewajibannya.
Mudah-mudahan, ini semuanya akan mencerahkan masyarakat bahwa jabatan itu hakikatnya adalah pemenuhan kewajiban dan bukannya penuntutan atau pemberian fasilitas semata-mata.