SEKITARKALTIM.ID, REPUBLIKA – Sudah 100 hari lebih genosida di Gaza masih berlangsung. Kantor Media Pemerintah menerbitkan pembaruan statistik dari genosida yang dilakukan Zionis Israel di Jalur Gaza. Sampai Kamis, (18/1/2024) tercatat 24.620 jiwa meninggal dunia.
Seiring itu, menurut UNICEF pada Jumat (19/1/2024), tercatat ada sekitar 20 ribu anak telah lahir sejak peristiwa 7/10. Dengan kata lain, setiap 10 menit di tengah serangan genosida, satu anak lahir di Gaza. Tetapi banyak dari mereka berisiko meninggal dan terkena penyakit.
Spesialis Komunikasi UNICEF, Tess Ingram memaparkan kondisi mengkhawatirkan yang dihadapi wanita Palestina saat melahirkan di wilayah Gaza. Menurutnya kondisi itu bahkan mengerikan lantaran minimnya peralatan medis, akses terhadap bantuan dan buruknya lingkungan untuk melahirkan.
“Banyak wanita tidak punya pilihan, selain melahirkan tanpa anestesi, yang pada akhirnya membahayakan kesehatan mereka dan bayi,” ungkapnya, dilansir CNN.
Menurutnya para wanita Palestina yang melahirkan menghadapi tantangan berbahaya dalam mengakses perawatan medis.
Mereka, lanjut Ingram, kekurangan nutrisi dan perlindungan selama dan setelah kelahiran.
Ia mengingatkan, selaiknya menjadi seorang ibu yang baru melahirkan adalah seperti perayaan yang patut dirayakan. Namun, hal itu tidak berlaku di Gaza. “Di Gaza, anak-anak seperti lahir di neraka,” imbuhnya.
Ingram mendesak dunia agar segera dilakukan tindakan lebih intensif dan segera terhadap wanita hamil dan bayi yang baru lahir di Gaza.
Ia mengaku baru saja kembali dari Gaza Selatan, dan mengungkapkan para pekerja di Rumah Sakit Emirat di Rafah penuh sesak harus mengeluarkan ibu dari rumah sakit dalam waktu tiga jam setelah operasi sesar.
Ingram bilang, pengeboman dan pengungsian yang berlangsung secara langsung berdampak pada anak-anak yang baru lahir, menyebabkan tingginya angka kekurangan gizi, problematika pertumbuhan anak, dan komplikasi kesehatan.
Ia meyakini ada sekitar 135 ribu anak di bawah usia dua tahun berisiko mengalami kekurangan gizi akut. Mereka terpaksa bermukim di tempat penampungan, yang kondisinya mengalami kekurangan gizi dan air.
Bahkan, lanjutnya, lebih dari separuh penduduk Gaza mengungsi, dan sebagian besar terkonsentrasi di kota Rafah di bagian selatan.
“Penyakit seperti Hepatitis C, semakin menyebar luas di kalangan pengungsi,” ingatnya.