REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai digital financial merupakan instrumen yang bagus untuk menggenjot akses inklusi finansial, asal pinjaman online (pinjol) ilegal dibasmi karena level penerimaan masyarakat belum dalam kondisi siap.
“Fintech, digital finansial sebenarnya bagus meningkatkan akses literasi masyarakat di bidang finansial tapi instrumensi hukum dan masyarakat sendiri sebenarnya belum siap untuk itu. Jadi persoalannya masif dan korbannya bukan soal utang piutang saja, tapi sudah level pidana,” kata Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi saat konferensi pers di Kantor YLKI, Jakarta, Selasa (23/1/2024).
YLKI mencatat pengaduan mengenai jasa keuangan terus mendominasi pengaduan sejak 5 tahun terakhir. Pengaduan di komoditas jasa keuangan mencapai 38,2 persen dari total 943 aduan yang masuk sepanjang 2023. Disusul aduan sektor e-commerce sebanyak 13,1 persen, telekomunikasi sebanyak 12,1 persen, aduan sektor perumahan 6,7 persen, serta aduan seputar listrik sebanyak 2,4 persen.
Khusus untuk komoditas jasa keuangan, aduan mengenai pinjaman online mencapai 50 persen. Aduan pinjaman online tersebut didominasi oleh pinjaman online ilegal yang disebabkan oleh rendahnya literasi digital dan inklusivitas finansial masyarakat.
“Jadi konsumen hanya membuka handphone dan mengklik tanpa membaca syarat dan ketentuan yang berlaku, bunga berapa, cara penagihan seperti apa dan konsumen banyak dikejar debt collector. Di berita ada yg bunuh diri, dipecat dari perusahaan, cerai karena menyangkut utang piutang dengan pinjaman online,” ucapnya.
Padahal, lanjut Tulus, pinjaman online terutama di negara-negara lain merupakan suatu gagasan yang positif karena bisa mempercepat inklusi keuangan. Namun di Indonesia, pinjaman online justru menjadi hal yang problematik karena masih lemahnya mitigasi dampak dan pengawasan yang bermuara pada pinjaman online ilegal.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Rio Priambodo merinci permasalahan pada pinjaman online adalah cara penagihan mencapai 33,6 persen, lalu permohonan keringanan sebanyak 6,6 persen, pembobolan/penipuan akun sebanyak 4,5 persen hingga tagihan bermasalah sebanyak 3,1 persen.
“Penipuan dan pembobolan di sektor jasa perbankan juga sangat tinggi. Ada soal penipuan dan pembobolan ini yang kami soroti karena pada 2022 sudah ada perlindungan data pribadi, hanya permasalahan ini terus kontinu dari tahun ke tahun soal penipuan dan pembobolan,” jelasnya.