Selasa 23 Jan 2024 19:36 WIB

Politik Uang tak Lagi Efektif Diterapkan di Indonesia Menurut Survei

Tak efektifnya politik uang berdaskan hasil survei ketiga yang dilakukan Praxis PR.

Tolak politik uang.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Tolak politik uang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika

Praktik politik uang (money politics) dinilai tak lagi efektif digunakan di Indonesia. Peserta Pemilu 2024 belum tentu akan mendapat suara maksimal dari masyarakat kalau melakukannya. Ini merupakan temuan dari hasil survei ketiga yang dilakukan Praxis PR. 

Baca Juga

"Sebanyak 42,96 persen mahasiswa menyatakan akan menerima uang namun tidak memilih kandidat. Selanjutnya, 20,08 persen mahasiswa akan menerima uang dan akan memilih kandidat, sementara 10,99 persen lainnya menyatakan tidak akan menerima uang dan tidak akan memilih kandidat,"  kata Director of Public Affairs Praxis PR, Sofyan Herbowo dalam paparannya pada Senin (22/1/2024). 

Sofyan mengatakan, riset ini menunjukkan pandangan mahasiswa yang independen. Survei ini menurutnya membuktikan bahwa praktik politik uang tidak mampu memengaruhi pilihan mereka. 

"Saya berharap survei ini dapat mendorong mahasiswa untuk memilih dengan bijak demi menjaga keberlanjutan ekosistem demokrasi yang sehat," ujar Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) itu. 

Analisis berdasarkan Socioeconomic Status (SES) menunjukkan bahwa semakin tinggi SES, praktik politik uang semakin tidak efektif. Data melaporkan 15,94 persen dari kelas atas, 19,89 persen dari kelas menengah, dan 29,21 persen dari kelas bawah mengaku akan menerima uang dan memilih kandidat yang diminta. 

"Di sisi lain, 47,51 persen dari upper class, 41,98 persen dari middle class, dan 27,12 persen dari lower class mengatakan akan menerima uang namun tidak memilih kandidat yang diminta," ujar Sofyan. 

Sofyan menyampaikan #PraxiSurvey kali ini dapat menjadi acuan bagi kandidat untuk meninggalkan praktik politik uang yang tidak efektif dalam meraih kemenangan. 

"Kandidat diimbau untuk fokus pada penyampaian visi, program kerja, dan karakter yang meyakinkan untuk memenangkan hati pemilih, khususnya pemilih muda," ucap Sofyan. 

Atas hasil survei ini, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan serta koordinator EC Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim mengatakan pentingnya memahami aspirasi mahasiswa yang secara strategis berpengaruh pada hasil pemilu. Ini mengingat data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjabarkan daftar pemilih tetap (DPT) usia muda mencapai 53 persen. 

"Semoga hasil riset dapat bermanfaat bagi masyarakat dan para pemangku kepentingan di Pemilu tahun ini," ujar Abdul. 

Diketahui, survei kali ini mengusung tajuk “Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024”. Sebagai kelanjutan dari riset yang dilaksanakan pada April dan Agustus 2023, survei dilakukan dengan pendekatan mixed method atau menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif.

Riset kuantitatif survei dilaksanakan pada 1-8 Januari 2024 kepada 1.001 mahasiswa dengan rentang usia 16-25 tahun di 34 provinsi di Indonesia. Praxis kemudian berkolaborasi dengan Election Corner (EC) Fisipol UGM untuk mengkaji temuan kuantitatif dengan melakukan riset kualitatif pada 15 Januari 2024.

Riset berformat Focus Group Discussion (FGD) ini melibatkan empat akademisi dan mahasiswa perwakilan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Mulawarman (Unmul), dan Universitas Nusa Cendana (Undana).

photo
MK Putuskan Pemilu Tetap dengan Sistem Proporsional Terbuka - (Infografis Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement