REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah memulai latihan militer terbesarnya sejak Perang Dingin, Rabu (24/1/2024). Latihan bertajuk Steadfast Defender 2024 itu melibatkan 90 ribu tentara.
Latihan tersebut akan terdiri dari serangkaian latihan individu yang lebih kecil dan bakal berlangsung dari Amerika Utara hingga sisi timur NATO, dekat perbatasan Rusia. Sekitar 50 kapal angkatan laut, 80 pesawat, dan lebih dari 1.100 kendaraan tempur dikerahkan untuk pelaksanaan Steadfast Defender 2024.
“Aliansi ini akan menunjukkan kemampuannya untuk memperkuat kawasan Euro-Atlantik melalui pergerakan kekuatan trans-Atlantik dari Amerika Utara,” kata Panglima Tertinggi Sekutu NATO di Eropa, Jenderal Christopher Cavoli.
Steadfast Defender 2024 dirancang untuk mensimulasikan respons aliansi 31 negara tersebut terhadap serangan dari saingannya seperti Rusia. “Steadfast Defender 2024 akan menjadi demonstrasi nyata dari persatuan, kekuatan, dan tekad kita untuk melindungi satu sama lain, nilai-nilai kita, dan tatanan internasional berbasis aturan,” ujar Cavoli.
Terakhir kali NATO menggelar latihan berskala besar adalah pada era Perang Dingin, yakni tahun 1988 dengan mengangkat tema “Reforger”. Sebelumnya Ketua Komite Militer NATO, Laksamana Rob Bauer, mengatakan Steadfast Defender 2024 merupakan demonstrasi kesiapan baru aliansi tersebut. “Ini adalah rekor jumlah pasukan yang dapat kami bawa dan lakukan latihan dalam jumlah tersebut, di seluruh aliansi, melintasi lautan, dari AS hingga Eropa,” katanya pekan lalu.
Bauer juga memperingatkan bahwa masyarakat sipil di negara-negara anggota NATO perlu lebih mempersiapkan diri menghadapi potensi perang di masa depan dengan Rusia. “Kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa hidup dalam damai dan itulah mengapa kita punya rencana, itulah mengapa kita bersiap menghadapi konflik,” katanya.
“Kami tidak mencari konflik apa pun, namun jika mereka menyerang kami, kami harus siap,” tambah Bauer. Menurut Bauer, kekuatan darat Rusia telah terdegradasi parah akibat perang di Ukraina.
Namun dia mengakui angkatan laut dan udara Rusia masih memiliki kekuatan cukup besar. Bauer mengatakan, upaya Moskow untuk menyusun kembali pasukannya terhambat oleh dampak sanksi Barat. Kendati demikian, Kremlin masih berhasil meningkatkan produksi artileri dan rudal.
Terkait konflik di Ukraina, Bauer mengatakan, meskipun pertempuran sengit masih terjadi, garis depan “tidak banyak bergerak”. “Meskipun serangan-serangan terbaru Rusia sangat menghancurkan, serangan-serangan tersebut tidak efektif secara militer,” ujarnya, seraya menyerukan para pendukung Ukraina untuk tidak “terlalu pesimis” terhadap prospek Kiev tahun ini.