REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Perdana Menteri China, Li Qiang, bertemu dengan sekitar 200 orang pengusaha Jepang untuk membicarakan pemulihan hubungan ekonomi kedua negara. "Perdana Menteri Li Qiang menunjukkan bahwa perekonomian kedua negara sangat terhubung. Kerja sama ekonomi dan perdagangan memainkan peranan penting dalam hubungan bilateral sebagai jangkar sekaligus pendorong," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China, pada Kamis (25/1/2024).
Kunjungan tersebut adalah kunjungan pertama setelah sekitar empat tahun delegasi pengusaha Jepang tidak datang ke China di tengah tantangan geopolitik kedua negara dan memburuknya hubungan bilateral. Delegasi pengusaha Jepang sebelumnya rutin mengunjungi China tiap tahun sejak 1975, namun kunjungan tersebut berakhir pada masa pandemi Covid-19 saat China menutup perbatasannya karena kebijakan "lockdown" ketat.
"PM Li Qiang bertemu dengan delegasi Jepang yang dipimpin oleh Ketua Federasi Bisnis Jepang Tokura Masakazu, Ketua Asosiasi Ekonomi Jepang-China Shindo Kosei dan Ketua Kamar Dagang dan Industri Jepang Kobayashi Ken di Balai Agung Rakyat (Great Hall of the People), lebih dari 200 pemimpin perusahaan besar Jepang menghadiri pertemuan tersebut," kata Wang Wenbin menjelaskan.
Dalam pertemuan itu, PM Li mengatakan hubungan China-Jepang berada pada titik penting setelah pada November 2023 Presiden China Xi Jinping bertemu dengan PM Jepang Fumio Kishida di San Francisco. Di San Fransisco, kedua pemimpin mencapai kesepakatan bahwa semua sektor di China dan Jepang perlu bekerja sama untuk meninjau ulang keinginan awal untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik kedua negara, menjaga perdamaian, persahabatan dan kerja sama, serta menerapkan konsensus politik bahwa mereka harus menjadi mitra kerja sama dan bukan ancaman satu sama lain.
"China berharap Jepang dapat menangani dengan layak isu-isu terkait sejarah, masalah Taiwan, dan persoala prinsip lainnya," kata Wang Wenbin menjelaskan. Dalam pertemuan delegasi ekonomi itu, PM Li Qiang juga mengatakan kerja sama ekonomi dan perdagangan memainkan peranan penting dalam hubungan bilateral kedua negara sebagai jangkar sekaligus pendorong.
"China siap bekerja sama dengan Jepang untuk meningkatkan kerja sama di bidang-bidang seperti inovasi teknologi, ekonomi digital, pembangunan ramah lingkungan, layanan kesehatan dan perawatan lansia serta bersama-sama menjaga rantai industri dan pasok stabil, tanpa hambatan untuk saling melengkapi dan saling menguntungkan satu sama lain," ujar Wang Wenbin.
Ia juga mengatakan China menyambut perusahaan-perusahaan dari Jepang dan negara-negara lain untuk terus berinvestasi di China dan berharap Jepang akan menyediakan lingkungan bisnis yang terbuka, adil, dan tidak diskriminatif bagi perusahaan-perusahaan China di Jepang. Sedangkan delegasi Jepang, menurut Wang Wenbin, mengatakan berharap kedua negara akan kembali ke persahabatan awal dan membangun hubungan Jepang-China yang konstruktif dan stabil berdasarkan kepentingan strategis bersama.
"Sektor ekonomi Jepang sangat terdorong oleh pertumbuhan ekonomi China yang sehat dan stabil dan ingin bekerja sama dengan China untuk meningkatkan kerja sama di bidang perdagangan, perlindungan lingkungan, ekonomi hijau, layanan kesehatan, rehabilitasi, pariwisata maupun memajukan perekonomian regional," katanya.
Hubungan antara China dan Jepang sempat tegang karena keduanya berselisih di sejumlah isu misalnya pelepasan limbah sisa PLTN Fukushima ke Laut, China pun melarang impor produk bahari dari Jepang. Selain itu pemerintah China juga penahanan warga negara Jepang karena dicurigai melakukan spionase.
Selanjutnya Jepang melakukan pembatasan terhadap ekspor peralatan pembuat cip canggih ke China sehingga China menuduh pemerintahan PM Fumio Kishida mengikuti jejak Amerika Serikat yang ingin "menahan" perekonomian China. Pada 2022, China merupakan pasar ekspor utama Jepang, dengan nilai 145 miliar dolar AS dan menjadi satu-satunya sumber impor terbesar, dengan nilai 189 miliar dolar AS.
Namun, jumlah perusahaan Jepang yang berencana melakukan ekspansi di China turun di bawah 30 persen menurut survei pada akhir 2022 karena beberapa perusahaan mengaku khawatir, mengenai ketidakpastian ekonomi dan perusahaan lainnya menyoroti risiko geopolitik.