REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangsa Indonesia telah lama meninggalkan praktik politik dinasti, yang ditandai oleh pengorbanan kesultanan di berbagai wilayah Nusantara demi bertransformasi menjadi sebuah negara kesatuan. Mereka sepakat, kedaulatan terletak di tangan rakyat.
Oleh karena itu, praktik dinasti politik merupakan suatu keanehan atau anomali di era Indonesia modern saat ini. "Itu sama dengan tidak memahami sejarah. Mereka (yang menjalankan politik dinasti) tidak memahami masa lalu yang justru mengakhiri dinastiisme," ucap cendekiawan Muslim Prof Komaruddin Hidayat dalam webinar Moya Institute bertema 'Demokrasi Indonesia: Terjerembab ke Dalam Dinasti Politik?' di Jakarta pada Jumat (26/1/2024).
Menurut Komaruddin, untuk membangun demokrasi yang kuat dan kepemimpinan nasional berkualitas, diperlukan mobilitas vertikal yang kompetitif. Di antaranya, melalui kaderisasi di partai-partai politik. Namun, Komarudin menyoroti, apakah partai politik saat ini benar-benar mewakili aspirasi rakyat dan sungguh-sungguh ingin merawat negara demokratis.
"Sebab isu yang beredar adalah bahwa partai politik seperti perusahaan. Pemegang saham adalah para pendirinya, ditambah dengan investor dari kalangan oligarki. Di sini, ikatan negara dan warga negara menjadi terputus," ucap rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) tersebut.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, menilai, praktik dinasti politik di Indonesia semakin merajalela. Sampai 2020, sambung dia, tercatat setidaknya ada praktik di 117 daerah di Indonesia, yang kepala daerahnya merupakan produk dari dinasti politik.
"Ini hampir setara dengan 20 persen dari total daerah di Indonesia. Jika tidak ada penghambatan atau kampanye melawan yang serius, maka pada Pilkada Serentak 2024 ini, angkanya bisa mencapai 25 persen," kata Ray.
Alih-alih berupaya mengurangi praktik dinasti politik di tingkat lokal, kata dia, politik dinasti justru naik ke tingkat nasional. Hal itu ditandai dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Hal itu diperburuk oleh proses pencalonannya yang bermasalah di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemerhati isu-isu strategis dan global, Prof Dubes Imron Cotan menganggap proses rekrutmen politik di Indonesia kembali ke pola lama yang berdasarkan garis keturunan. Situasi tersebut memunculkan kekhawatiran besar dari berbagai kalangan, baik dari dalam dan luar negeri.