REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putra Presiden pertama Republik Indonesia, Muhammad Guntur Soekarnoputra mengatakan bahwa saat ini untuk fokus terlebih dahulu terhadap pemenangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Seluruh elemen pendukung untuk tak ribut dengan isu lain, termasuk ihwal pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Ini kan banyak macam-macam, ada yang minta pemakzulan, ada yang minta ini, minta itu. Sudahlah kita lupakan aja itu dulu," ujar Guntur di Rumah Aspirasi Relawan, Jakarta, Senin (29/1/2024).
Saat ini, pemenangan Ganjar-Mahfud harus diprioritaskan jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Hal tersebut juga sesuai dengan ajaran Soekarno, yakni mendahulukan yang tidak bisa ditunda.
"Kita harus ambek paramaarta yang artinya kita dahulukan semua hal-hal yang sudah tidak dapat ditunda dan menunda semua hal yang masih bisa kita tunda," ujar Guntur.
Sebelumnya, Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis menyoroti pernyataan Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan bahwa presiden boleh berpihak dan berkampanye. Tegasnya, hal tersebut akan dinilai melanggar sumpahnya sebagai presiden saat dilantik pada 20 Oktober 2019.
Dalam pelantikan presiden, Jokowi disumpah untuk berjanji melaksanakan konstitusi dan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun jika Jokowi sebagai presiden berpihak kepada salah satu pasangan calon dan menimbulkan ketidaknetralan, hal tersebut dapat ditafsirkan sebagai perbuatan tercela yang bisa dijadikan alasan pemakzulan.
"Kalau Presiden tidak melaksanakan tugasnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka bisa saja hal ini ditafsirkan sebagai perbuatan tercela. Dan kalau ini disimpulkan sebagai perbuatan tercela, maka ini bisa dijadikan sebagai alasan untuk pemakzulan," ujar Todung di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Dalam Pasal 7a UUD 1945 menetapkan alasan pemakzulan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya. Pemakzulan dapat diajukan jika Jokowi terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya.
Selanjutnya dalam Pasal 7b UUD 1945, usul pemberhentian presiden dapat diajukan DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Nantinya, MK diminta untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak.
"Saya tidak mengatakan harus melakukan pemakzulan, tapi ini yang saya baca dalam Pasal 9 ini (UUD)," ujar Todung.