REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menuju bebas zat berbahaya Bisphenol A (BPA) sepertinya masih jauh dari harapan. Muncul sejumlah tantangan yang harus dihadapi jika ingin menggapai keinginan tersebut. Salah satunya, yaitu tingkat ketidaktahuan (ignorance) yang masih tinggi di kalangan masyarakat.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Adang Bachtiar menyampaikan, zat BPA umumnya menjadi material berbagai produk yang berbahan plastik. Di antaranya, botol susu bayi, botol air minum kemasan, piring plastik, kantong plastik, alat kesehatan, dan produk lainnya.
Dia memaklumi banyak orang yang belum mengetahui BPA dan seberapa dampak bahayanya zat tersebut terhadap kesehatan tubuh. Tidak hanya di level masyarakat, kata Adang, ketidaktahuan itu bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi atau akademisi. Pun pemerintah sebagai regulator belum bisa membuat aturan kuat tentang BPA.
"Belum mengikat produsen atau industri untuk dalam pembatasan penggunaan BPA dalam produk plastik. Perguruan tinggi dan organisasi profesi masih belum konsern membahas tentang bahaya BPA. Hanya tertentu saja, seperti apoteker yang paham zat ini," kata Adang dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Di level berikutnya, menurut Adang, ada peran media yang dinilai penting sebagai jembatan informasi bagi publik. Pasalnya, akses informasi masyarakat terhadap bahaya zat BPA sangat terbatas sehingga berdampak terhadap rendahnya pemahaman dan jauh dari perilaku hidup sehat.
"Strategi pentahelix ini penting. Regulasi diperkuat, jika perlu sampai ke tingkat pemerintah desa. Edukasi juga harus terus masif sehingga pengetahuan meningkat, paham bahaya BPA sampai mengubah perilaku mereka untuk hidup lebih sehat," ucap Adang dalam peluncuran bukunya 'BPA Free: Perisai Keluarga dari Bahan Kimia Berbahaya' di Jakarta Selatan, Sabtu (27/1/2024).
Peneliti dan penulis buku BPA Free, Dien Kurtanty, menilai, regulasi, edukasi, dan kolaborasi menjadi faktor penting. Kesehatan memang menjadi pilihan masing-masing, namun jangan sampai masalah tersebut berimbas dan dilimpahkan pada pelayanan kesehatan.
"Di hulunya yaitu pemerintah sebagai regulator yang bisa memberikan kebijakan kuat dengan berbasis data sehingga bisa menguatkan bahayanya BPA ini. Inovasi regulasi jadi kunci," ujarnya.
Dien pun menyoroti migrasi BPA dalam wadah makanan dan minuman berdasarkan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 20 Tahun 2019. Aturan itu menekankan penggunaan zat BPA maksimum 0,6 miligram untuk setiap satu kilogram (mg/kg).
Selain itu, riset harus ditingkatkan pada level dampak BPA. Di sektor industri, perlu inovasi penting alih dari plastik ke zat yg lebih aman. "Industri harus terbuka dalam pemasangan label terkait ada atau tidaknya BPA dalam produk kemasan plastik yang dibuatnya," ucap Dien.