Selasa 30 Jan 2024 14:42 WIB

Qatar: Negosiasi Gencatan Senjata di Gaza Ada 'Kemajuan Bagus'

Hamas menuntut gencatan senjata permanen sebagai syarat negosiasi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Perdana Menteri Qatar dan Menteri Luar Negeri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani, menghadiri konferensi pers tentang perang Israel-Hamas, Jumat (8/12/2024) di Washington.
Foto: AP Photo/Jacquelyn Martin
Perdana Menteri Qatar dan Menteri Luar Negeri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani, menghadiri konferensi pers tentang perang Israel-Hamas, Jumat (8/12/2024) di Washington.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim al Thani mengatakan pertemuan kepala intelijen Mesir, Israel dan Amerika Serikat (AS) memberikan "kemajuan yang bagus." Ketiganya membahas kemungkinan kesepakatan untuk mengamankan gencatan senjata perang Israel di Gaza dan pembebasan sandera yang ditawan Hamas.

Tiga kepala intelijen negara yang memimpin negosiasi jeda pertempuran perang yang dimulai 7 Oktober itu menggelar pertemuan akhir pekan lalu di Paris, Prancis. Al Thani mengatakan mereka membahas potensi kesepakatan yang akan termasuk pembebasan perempuan dan anak-anak dan bantuan kemanusian masuk ke Jalur Gaza.

Baca Juga

"Kami berharap dapat menyampaikan proposal ini ke Hamas dan membawa mereka ke tempat di mana mereka dapat terlibat dengan positif dan konstruktif dalam prosesnya," kata Al Thani seperti dikutip Aljazirah dalam sebuah acara yang digelar Atlantic Council di Washington DC, AS, Senin (30/1/2024).

Perdana menteri Qatar juga mengatakan, Hamas menuntut gencatan senjata permanen sebagai syarat negosiasi. "Saya yakin kami bergerak dari satu tempat ke tempat lain yang berpotensi mungkin mengarah pada gencatan senjata permanen di masa depan," katanya.

Al Thani mengatakan pembicaraan ini "dalam kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan beberapa pekan yang lalu." Israel mengklaim Hamas menculik 240 warganya dalam serangan mendadak 7 Oktober lalu. Israel merespon dengan serangan balasan yang menurut Kementerian Kesehatan Gaza sudah menewaskan lebih dari 26.600 orang.

Negosiasi yang dipimpin AS dan Qatar sebelumnya menghasilkan gencatan senjata selama satu pekan pada akhir November lalu. Jeda pertempuran ini membebaskan lebih dari 100 warga Israel dan asing yang disandera Hamas. Sebagai imbalannya, Israel membebaskan tahanan Palestina yang dipenjara di Israel.

Sejak itu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu semakin ditekan dari berbagai pihak. Keluarga sisa sandera yang belum dibebaskan mendesak gencatan senjata agar dapat bertemu kembali dengan anggota keluarga mereka, sementara anggota koalisi pemerintah ultra-kanan mendorong perang dilanjutkan.

AS sekutu terbesar Israel mengkritik tingginya korban jiwa dari warga sipil di Gaza. Pekan lalu Netanyahu menolak proposal Hamas untuk mengakhiri perang dan membebaskan sisa sandera sebagai gantinya pasukan Israel mundur dari Gaza dan membiarkan Hamas berkuasa di pemukiman Palestina itu.

Perdana Menteri Israel mengatakan menerima persyaratan Hamas berarti membiarkan kelompok bersenjata itu “utuh” dan tentara Israel “gugur sia-sia”. Ia kerap mengatakan hanya dengan operasi militer maksimum yang akan mendorong Hamas melepaskan semua sandera.

Perdana menteri Qatar mencatat negaranya bukan "adidaya yang dapat memberlakukan sesuatu pada satu pihak." Pernyataan ini sebagai respon klaim Netanyahu sebelumnya yang mengatakan Qatar gagal menggunakan pengaruhnya untuk menekan Hamas.

Doha tuan rumah kantor politik Hamas dan merupakan kediaman pejabat politik senior kelompok itu, Ismail Haniyeh. “Kami menggunakan jasa baik kami untuk menghubungkan, menjembatani kesenjangan, dan menghasilkan beberapa alternatif. Dan cara ini berhasil,” katanya merujuk pada mediasi sebelumnya yang difasilitasi Qatar. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement