Rabu 31 Jan 2024 12:45 WIB

Praperadilan Eks Wamenkumham Dikabulkan, ICW: Pukulan Telak Pemberantasan Korupsi

Praperadilan eks Wamenkumham dikabulkan jadi pukulan telak pemberantasan korupsi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Wamenkumham yang saat ini juga berstatus sebagai tersangka Edward Omar Sharif Hiariej. Praperadilan eks Wamenkumham dikabulkan jadi pukulan telak pemberantasan korupsi.
Foto: Republika/Prayogi
Wamenkumham yang saat ini juga berstatus sebagai tersangka Edward Omar Sharif Hiariej. Praperadilan eks Wamenkumham dikabulkan jadi pukulan telak pemberantasan korupsi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi putusan praperadilan yang membatalkan penetapan tersangka eks Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. ICW memandang putusan itu berdampak negatif bagi pemberantasan korupsi. 

Dalam putusannya, hakim berpendapat pokok persoalan praperadilan ini berkaitan apakah penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK memenuhi minimum 2 alat bukti. Dalam pertimbangannya, hakim mempermasalahkan kapan KPK mendapatkan dua alat bukti yang cukup, dimana ada dua pemeriksaan saksi dan satu upaya penyitaan dilakukan setelah penetapan tersangka pada 27 November 2023.

Baca Juga

"Pembacaan putusan praperadilan hakim tunggal Estiono yang menggugurkan status tersangka mantan wakil menteri hukum dan HAM, Eddy Hiariej, menjadi pukulan telak terhadap upaya pemberantasan korupsi," kata peneliti ICW, Diky Anandya dalam keterangannya pada Rabu (31/1/2024). 

ICW mencatat dua argumentasi untuk menyatakan pertimbangan hakim mengandung kekeliruan. Pertama, ICW menyayangkan hakim hanya melihat sebagian kecil dari alat bukti yang dikumpulkan oleh KPK. Padahal dalam perkara ini, KPK telah menemukan sebanyak 80 surat/dokumen, keterangan dari 16 orang saksi termasuk Eddy sendiri, dan satu orang ahli. 

"Artinya, KPK sudah memenuhi setidaknya dua alat bukti sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP," ujar Diky. 

Kedua, ICW menyoroti waktu memperoleh bukti oleh KPK. ICW merujuk pada Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 serta Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 maupun Pasal 44 ayat (2) UU KPK. Putusan itu menjelaskan bukti permulaan hanya diatur mengenai “jumlah” serta “jenisnya” semata. 

"Putusan MK dan PERMA tersebut tidak mengatur dan tidak membatasi kapan tahapan bukti permulaan harus diperoleh oleh penyelidik maupun penyidik KPK untuk menetapkan tersangka," ujar Diky. 

Oleh karena itu, ICW meyakini penetapan status Prof Eddy sebagai tersangka tetap sah meskipun keterangan saksi maupun penyitaan dilakukan setelah penetapan tersangka.

"Hal tersebut patut dipandang sebagai hal yang berkesinambungan dan upaya pro justitia," ujar Diky. 

Diketahui, hakim tunggal PN Jaksel Estiono menerima permohonan praperadilan yang diajukan oleh Prof Eddy dalam sidang pada Selasa (30/1/2024). Estiono memutuskan penetapan tersangka oleh KPK terhadap Prof Eddy tidak sah.

"Menyatakan penetapan tersangka oleh termohon terhadap pemohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Estiono membacakan amar putusan di PN Jaksel. 

Sebelumnya, Prof Eddy ditetapkan tersangka bersama "orang dekatnya" Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Arie Rukmana. Mereka diduga menerima suap dari tersangka mantan Dirut PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan, senilai Rp 8 miliar.

Dalam perkara ini, Prof Eddy dua kali mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangkanya. Dalam praperadilan pertama, Prof Eddy mencabutnya untuk diperbaiki. Dalam permohonan kedua, Prof Eddy mengajukan permohonan sendiri atau tanpa Yosi dan Yogi sebagai sesama tersangka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement