Kamis 01 Feb 2024 07:04 WIB

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Stagnan, KSP: Terjadi Politik Biaya Tinggi

Biaya politik ini sebagian besar digunakan untuk operasional jaringan tim di lapangan

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Agus raharjo
Plt Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani.
Foto: Antara
Plt Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani, menyampaikan stagnasi skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan turunnya peringkat dari 110 menjadi 115 dari 180 negara, banyak disebabkan dari sisi hulu. Antara lain karena terjadinya politik biaya tinggi dan juga faktor integritas aparat penegak hukum.

“Skor ini harus menjadi evaluasi bersama dari seluruh jajaran pemerintah, untuk perbaikan penguatan integritas dan kredibilitas di sisa masa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf,” ujar Jaleswari menanggapi soal rilis Indeks Persepsi Korupsi oleh Transparency International, dikutip dari siaran pers KSP pada Kamis (1/2/2024).

Baca Juga

Seperti diketahui, Transparency International meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi 2023 atau Corruption Perception Index (CPI). Dimana skor IPK Indonesia mengalami stagnasi yakni 34 dan berada pada peringkat 115 dari 180 negara.

Pengarah Tim Nasional Stranas Pencegahan Korupsi ini menjelaskan, rilis Indeks Persepsi Korupsi ini penting bagi pemerintah sebagai evaluasi kebijakan pemberantasan korupsi dari hulu. Hal ini karena masih terjadinya suap dalam layanan publik dan perizinan, integritas aparat birokrasi dan penegak hukum yang belum cukup baik, serta money politics yang berakibat pada politik biaya tinggi dan kualitas demokrasi.

Terkait terjadinya politik biaya tinggi, data KPK menunjukkan bahwa lebih dari 186 kepala daerah dan 35 menteri atau kepala lembaga menjadi terpidana korupsi dalam periode 18 tahun terakhir (KPK, 2023). Terjadinya politik uang dalam pemilu adalah salah satu penyebab para politisi ini terlibat korupsi.

“Biaya politik saat ini sangat tinggi, dari data yang kami dapat dari FGD internal pemerintah, rerata biaya politik yang dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR-RI adalah Rp 10-15 miliar dan Kepala Daerah Rp 100 miliar,” kata Jaleswari.

Biaya politik ini sebagian besar digunakan untuk operasional jaringan tim di lapangan, termasuk melakukan jual-beli suara (vote buying) yang menurut hasil survei Global Corruption Barometer dialami oleh 26 persen pemilih di dalam Pemilu Indonesia (TI, 2020). Tingginya biaya politik ini diperkuat dengan hasil kajian KPK, bahwa 82,3 persen calon Kepala Daerah dibiayai oleh sponsor (bohir) sehingga membuka peluang terjadinya transaksional politik (KPK, 2020).

Beragamnya modus politik uang dalam pemilu, seperti pemberian sembako, pemberian kupon belanja, token listrik, dan budaya permisif masyarakat terhadap politik uang, memerlukan adanya dua pendekatan. Yaitu, penjatuhan sanksi administratif dan sanksi hukum kepada pelaku politik uang dan edukasi yang intensif tentang pencegahan politik uang di level akar rumput. Antara lain lewat kampanye Hajar Serangan Fajar yang dilakukan KPK serta kanal untuk melihat rekam jejak calon politisi seperti yang dilakukan oleh ICW.

Selain itu, perubahan regulasi untuk peningkatan pendanaan dan akuntabilitas partai politik serta penguatan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang masih terkendala, adalah kebijakan yang akan terus didorong pemerintah melalui Stranas Pencegahan Korupsi. Ia mengatakan, pemerintah bersama KPK sebagai ujung tombak upaya pemberantasan korupsi, akan terus meningkatkan upaya pembenahan sistem pencegahan korupsi di antaranya dengan Stranas Pencegahan Korupsi dan berbagai inisiatif kebijakan pemberantasan korupsi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement